Jumat, 24 April 2015

Apa Kabar Disana, Nek?

Apa kabar disana Nek? Tiba-tiba saja saya begitu ridu padamu. Sampai-sampai saya harus meneteskan air mata dan mengelap ingus berkali-kali  saat menuliskan ini. Saya belum bisa membayangkan kehidupan di bawah sana. Diruang gelap dengan batas kayu dibawah gundukan tanah. Kalau sedang sibuk dengan urusan dunia, kadang saya lupa Nek, kalau suatu saat nanti saya pun  akan berada pada kedalaman tanah yang sama. Saya jadi ingat dengan salah satu kutipan kitab suci yang katanya akan ada banyak yang menyesal nantinya. Menyesal karena tak banyak berbuat amal kebaikan saat di dunia. Katanya lagi, mereka meminta dihidupkan kembali dan akan beribadah dengan sungguh-sungguh. Nek, saya tak ingin jadi seperti itu.

Apa kabar disana Nek? Oh iya, Cucumu sudah mulai besar . Putri dan wawan akan masuk bangku kuliah. Dede tidak lama lagi akan SMP, dan Ari sudah kelas dua SMA. Saya sendiri sudah lulus kuliah Nek. Sayang sekali kau sudah pergi sebelum melihatku bertoga.

Apa kabar disana Nek? Saya rindu dengan teh manis yang kau suguhkan setiap kali berkunjung kerumahmu. Saya rindu melihatmu terkantuk-kantuk saat sedang shalat dhuha. Saya rindu melihatmu bersikeras memotong kuku dengan silet, meskipun gunting kuku sudah diciptakan puluhan tahun lalu. Saya rindu menggaruk punggungmu dan menaburinya dengan bedak herosin. Saya rindu cerita-cerita masa lalu yang kau dongengkan saat rasa ingin tahuku tentang belanda, tentara jepang, atau tentara siliwangi yang selalu kau ceritakan dengan epik.

Apa kabar disana Nek? Kau pasti bertambah cantik. Sewaktu hidup banyak yang bilang nenek cantik dan punya kulit yang mulus meski sudah berumur. Rambutmu juga lembut dan panjang karena sering pakai santan dengan sedikit wangi khas. Di alam sana, tentunya pahala dan kebaikan sewaktu didunia yang akan jadi pengharummu dan mal jariyah yang akan jadi penolongmu.

Apa kabar disana Nek? Akhir-akhir ini ibadahku payah. Hafalanku tak bertambah-tambah. Bacaan Alqur’anku belum bisa disiplin. Shalatku juga jauh dari khusu’. Kenapa rasanya saya semakin jauh saja dariNya. Saya merindukanmu Nek, tapi belum siap berada di dimensi yang sama denganmu.

Nek, Apa kabar disana...........

Selasa, 21 April 2015

Ikan Hiu Makan Ubi, I love You Bertubi Tubi


Sabtu cerah, tanggal 23 januari 2015. Nulis bareng sobat (NBS) minggu ini bertema menulis pantun dan puisi. Tema yang sebelumnya jadi kesepakatan diantara para relawan yang akan mengajar. Tapi kemudian kami kewalahan mencari metode pengajaran yang tepat, mengingat tak ada satupun diantara relawan yang begitu paham dengan pantun ataupun puisi. Tema yang menurutku menantang. Meskipun demikian, relawan yang hadir tak berkurang. Ada  fani, ica, astrid, ramadan, ismud dan saya.  

Pada awal pembelajaran, kami memberikan ice breaking. Meminta mereka untuk bernyanyi sambil mengoper penghapus papan tulis. Anak yang paling terakhir memegang penghapus, akan diminta untuk membacakan pantun hasil googling singkat kami. Tak disangka mereka tampak sangat antusias dan berebutan membacakan pantun.

Selanjutnya, salah seorang relawan memberikan materi tentang  pantun dan kaedah-kaedah dalam penulisan pantun. Sedangkan relawan yang lain mengawasi adik-adik, ada juga yang memeriksa PR tulisan mereka.  Saya yang agak sulit menghapal nama, berdiri di pojok ruangan. Sesekali menegur anak-anak yang tidak memperhatikan. Saya ingat wajah  anak anak yang sangat ‘aktif’ didalam kelas. Mereka duduk bergeng, sering berteriak-teriak, suka cari perhatian dan hobi  naik ke atas meja. Keunikan mereka sering membuat kami gemes. Tapi jangan salah, meski terlihat tak bisa fokus, mereka sangat antusias saat sesi pembagian kelompok dimulai. 

Kelas dibagi menjadi tiga kelompok dan dinilai berdasarkan hasil kreasi pantun mereka. 
Anak-anak ini ternyata sudah tak asing lagi dengan pantun. Tak heran kalau bebrapa dari mereka begitu lancar mengucapkan pantun yang agak nyeleneh di sesi pembacaan pantun masing-masing kelompok.

“kotak-kotak diatas pasir, biar botak banyak yang naksir”

"Ikan hiu makan ubi, I love you bertubi tubi"

Percaya, pantun-pantun itu keluar dari mulut  anak SD kelas 4. Saya tersenyum geli sekaligus sedikit miris. Sudah bisa ditebak, pantun itu terinspirasi  dari salah satu acara di stasiun tv swasta yang tayang setiap sore. Menyajikan guyonan tanpa filter dan ditayangkan secara live. Mengutuk stasiun TV dan menyalahkan mereka untuk tayangan tak berbobot tentunya bukan jalan keluar. Bukan jangan-jangan, tapi pastinya kita sudah ikut andil menyuburkan mereka. Apakah sudah saatnya mematikan TV ?


Memasak ikan didalam peti
Paling enak dicampur terasi
Gayanya aja kayak selebriti
Tapi dompetnya tidaak berisi


Tulisan ini bukan untuk membahas TV sebenarnya. Hanya reportase singkat tentang kegiatan NBS yang kami lakukan di SD Paccinang, meskipun sedikit nyentil tentang TV. 

Terakhir saya menemukan pantun dari kelompok perempuan untuk wali kelas mereka
"Bu yusmira manis, bu yusmira cantik, bu yusmira tersenyum , kami tertarik  "