Sabtu, 19 Desember 2015

Sehari Menjelajah Sulawesi Selatan, Bisa!


Bisakah menjelajahi provinsi sulawesi selatan yang luasnya sekitar  45.764,53 km² hanya dalam satu hari? kenapa tidak? Waktu tersebut relatif, tergantung berapa lama anda menghabiskan waktu di setiap ‘objek wisata’ dan terpesona dengan budaya yang ada. Ini sudah termasuk aktifitas foto-foto narsis dan swafoto yang wajib di-upload di lini massa.

1.Benteng Rotterdam
Ada banyak alasan kenapa menggunjungi benteng Rotterdam kamu bisa menjelajah Sulawesi Selatan. Bangunannya yang menyimpan sejarah kerajaan-kerajaan sulawesi selatan serta terbentuknya kota Makassar menjadi salah satu alasan. Selain itu, di dalam kawasan benteng Rotterdam juga terdapat museum La Galigo yang akan semakin menambah wawasan tentang sejarah dan budaya Sulawesi Selatan.

Di dalam museum terdapat banyak informasi mengenai budaya Sulawesi Selatan bahkan sejak zaman pra-sejarah. Mulai dari cara bercocok tanam, baju adat, sampai peralatan untuk upacara nikahan adat bugis juga ada. Jadi jangan baper ya. saya harap kamu bisa keluar dari museum masih dengan wajah ceria. 

Lokasi museum La Galigo berada dahulu bernama Benteng Ujung Pandang, tetapi berubah nama setelah diduduki oleh Belanda. Cornelis Speelman, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan ekspedisi Makassar mengubah nama Benteng Ujung Pandang Menjadi Fort Rotterdam, nama kampung halamannya di Belanda. Mungkin agar bisa tetap merasa ‘Homie’ di tempat yang baru saja Ia duduki.  Tidak heran  jika Arsitekturnya juga ‘sangat’ Eropa.

2. Pantai Losari
Setelah menyambangi Benteng Rotterdam, kamu bisa jalan-jalan ke Pantai Losari. Yang saya maksud jalan-jalan adalah benar ‘jalan-jalan’ dalam arti sebenarnya, tanpa naik kendaraan, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari Benteng Rotterdam. Tapi saya sarankan untuk menggunakan sepatu atau alas kaki senyaman mungkin.

Dengan berjalan kaki kamu bisa melihat aktivitas masyarakat dan merasakan langsung interaksi dengan penduduk Makassar yang menggantungkan kehidupan di sepanjang jalan menuju pantai Losari. Buktikan juga kalau warga Makassar tidak sekasar yang sering di beritakan media.

Butuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki dari Benteng Rotterdam menuju Pantai losari. Setelah berada di sana, jangan hanya berfoto dengan latar 'city of Makassar' ya. Kamu bisa menjelajahi sulawesi selatan dengan berjalan kaki sepanjang anjungan pantai Losari. Budaya dan khas provinsi ini  bisa dilihat dalam bentuk patung-patung replika yang berdiri kokoh di sepanjang anjungan. 

Pantai Losari merupakan salah satu icon kota Makassar yang sangat terkenal. Tidak ‘mabrur’ rasanya jika ke Makassar dan tidak mengunjungi tempat ini serta berfoto dengan latar tulisan Pantai Losari. Akan lebih indah jika mendapati sunset atau matahari tenggelam sambil menikmati jajanan khas kota Makassar yang ada di sekitaran pantai Losari.

Pantai losari memiliki 3 anjungan utama, yaitu anjungan Bugis, Toraja, dan Mandar. Nama-nama tersebut mewakili masing-masing suku yang ada di sulawesi selatan. Setiap anjungan memiliki patung Replika khas daerahnya sendiri. Misalnya rumah adat Tongkonan yang berada di Anjungan Toraja, atau patung Penari kipas di Anjungan Bugis.

Selain sunset dan jajanan khas Makassar, di Pantai Losari juga bisa ditemukan jejeran patung replika dengan berbagai bentuk. Patung-patung ini tidak hanya menjadi hiasan tetapi memiliki makna.
1.     

Patung Becak adalah salah satu yang bisa kamu temukan di Pantai Losari. Becak adalah transportasi yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan masih bertahan sampai sekarang. Meskipun teknologinya sudah berubah dari masa ke masa, sarana transportasi yang satu ini tetap bertahan dan melegenda.  Lalu mengapa becak identik dengan kota Makassar? Hasil sejarah menunjukkan bahwa becak pertama kali digunakan di Makassar yang ditemukan oleh orang jepang.    

2.      
Sulawesi selatan juga dikenal dengan hasil tenunannya yang khas di beberapa daerah. Diantaranya Toraja, sengkang, dan Mandar. Beberapa  daerah ini memiliki ciri khas kain tenun yang berbeda. Daerah toraja dengan tenunan didominasi warna gelap dan dan motif garis. Sedangkan tenunan sengkang dan Mandar didominasi dengan warna cerah dengan bahan dasar sutra. Mungkin hal tersebut juga yang menjadi alasan dibuatnya patung perempuan menenun di anjungan ‘mandar’ pantai Losari. Patung ini memperlihatkan seorang perempuan dengan penutup kepala sedang duduk menenun.

3.       
Tidak jauh dari Patung menenun terdapat patung penari Pa’raga. Tarian Pa’raga adalah tarian yang menampilkan 3 orang atau lebih laki-laki yang bermain bola rotan. Mereka membentuk formasi sambil terus menjaga keseimbangan agar bola tidak jatuh.
Seiring berkembangnya zaman, Tarian Pa’raga tidak lagi sebatas ritual semata. Tarian ini dibawakan saat menyambut tamu ataupun kegaitan-kegiatan tertentu sebagai penghibur.

4.      
Patung rumah tongkonan adalah replika yang bisa kamu temukan di Anjungan Toraja. Rumah tongkonan adalah sebutan untuk rumah adat Toraja. Ciri khasnya yaitu mempunyai bentuk atap yang melengkung dan terdapat susunan tanduk kerbau di bagian depan bangunan rumah Tongkonan. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang terpajang di bangunan rumah tongkonan, semaking tinggi kasta keluarga yang mendiami rumah tersebut.
5.       

Selain Rumah Tongkonan, terdapat juga patung Tedong Bonga di Anjungan Toraja. Dalam bahasa Bugis atau toraja, Tedong berarti kerbau. Sedangkan Bonga berarti belang. Beberapa orang menyebut tedong bonga dengan sebutan Kerbau bule karena coraknya yang tak biasa. Lalu apa yang membuat popularitas kerbau ini begitu spesial dan mengalahkan hewan-hewan yang lainnya di Toraja ? Ternyata harga tedong bonga  mencapai ratusan juta rupiah per ekornya membuat hewan ini memiliki prestige tersendiri bagi masyarakat Toraja.

Suku bugis dikenal sebagai pelaut yang handal dari masa ke masa. Tidak heran jika kapal-kapal layarnya diabadikan menjadi salah satu ikon kota Makassar. replika, patung, bahkan gedung dibentuk menyerupai kapal Phinisi. 

Tempat ini pengunjung bisa menikmati sunset sekaligus mempelajari budaya sulawesi selatan melalui patung-patung replika. Jika mempunyai banyak waktu, tentunya melihat wujud asli dari patung-patung tersebut lebih di sarankan lagi :D

3. Jalan Somba Opu
Di sepanjang jalan ini merupakan pusat oleh-oleh kota Makassar. Terdapat banyak hal yang bisa kamu bawa pulang untuk keluarga di rumah sebagai buah tangan. Mulai dari kain corak Toraja, miniatur kapal Phinisi, sampai minyak Tawon juga tersedia. Jadi kamu bisa mendapatkan barang-barang khas Sulawesi Selatan. Sangat menghemat waktu, bukan?



Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog competition travelNBlog 5: Jelajah Sulsel" diselenggarakan oleh @TravelNBlogID





Sabtu, 05 Desember 2015

Menelusuri Jejak Sejarah Makassar (Cerita TravelNBlog Makassar)

"Hasan terlihat bermain-main dengan batu yang ia susun berbentuk sebuah robot. Tidak jauh dari tempat Hasan, Aru  juga sibuk mengumpulkan batu. Tidak mau kalah ia membangun robot-robotan yang lebih besar. Mereka tertawa bersama saat salah satu dari robot mereka jatuh menghempas tanah. Kelak ketika besar, Hasan dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin, dan Aru dikenal dengan nama panjang Arung Palakka"

Adegan pada awal paragraf diatas tentu hanya ada dalam kepala saya. Membayangkan kebahagiaan masa kecil Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin seperti anak-anak kebanyakan. Sebab mendengar cerita tentang mereka yang di masa kecil berteman dan diasuh oleh orang yang sama tetapi kemudian menjadi musuh perang pada tahun 1667.

Siapa yang tidak kenal nama Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka. Yang satu pahlawan nasional, dan yang satu lagi sering disebut pengkhianat karena bekerjasama dengan VOC. Nama keduanya menghiasi literatur sejarah kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan yang menjadi cikal bakal kota Makassar. 

Sebenarnya saya tidak suka mengungkit tentang masa lalu, karena hal tersebut biasanya menimbulkan pertengkaran (eh). Toh, kejadian itu sudah terjadi berabad-abad silam. Begitupun dengan kisah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka. Tentang siapa pahlawan atau siapa penghianat. Cukup. saya tidak akan menuliskan hal tersebut. Sekarang saatnya move on dan menatap masa depan.

Apa mau dikata, Mengikuti kegiatan TravelNBlog membuat saya ‘harus’ ikut menelusuri kembali jejak sejarah Makassar. Untuk yang belum tahu, TravelNBlog adalah kegiatan sharing dan workshop menulis cerita perjalanan yang berlangsung selama dua hari di Makassar. Salah satu sesi dalam TravelNBlog adalah  mendatangi dua benteng bersejarah yaitu Benteng Somba Opu dan Benteng Rotterdam. Bersama 11 orang peserta TravelNBlog Makassar, perjalanan kami dimulai dengan menyambangi Benteng Somba Opu.

Benteng Somba Opu dibangun pada abad XV oleh raja Gowa IX Daeng Marante Tupasiri Kallona pada tahun 1550-1650. Butuh waktu seratus tahun lamanya untuk membangun salah satu benteng kebanggaan orang Sulawesi ini.

Kalau dihitung, ini kali kedua saya mendatangi Benteng Somba Opu. Pertama, saat pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah di awal semester kuliah. Saat itu tidak banyak yang bisa saya ceritakan, selain kejadian kesurupan  anak-anak perempuan yang mungkin lelah atau kebanyakan menghayal saat diiberi materi. Mengunjungi Benteng Somba Opu yang kedua kali ini berbeda. Tidak ada kejadian kesurupan ataupun bentakan senior. Saya bisa leluasa melihat ke sekeliling area yang ternyata cukup luas.

Setelah penjelasan mengenai sejarah panjang Benteng Somba Opu, kami diajak mengunjungi salah satu museum yang berada di kawasan benteng. Museum ini dikenal dengan nama Museum Karaeng Pattingallongan.

Beliau adalah salah satu cendekiawan Sulawesi yang disegani penjajah karena kecerdasannya. 
“…He knew all our mystery very well, had read with curiosity all the chronicles of our European kings. He always had book of ours in hand, especially those treating with mathematics, in which he was quite well versus. Indeed, he had such a passion for all branches of the science that he worked at it day and night. To hear him speak without seeing him one would … him for a native Portuguese for he spoke the language as fluently as people from Lisbon itself.          
Jangan ragu-ragu untuk membuka google translate jika tidak mengerti tulisan diatas. Tulisan tersebut terpajang dalam bingkai kaca area museum dan merupakan keterangan dari Alexander Rhode dalam tulisan Prof. Mr. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, salah seorang pakar sejarah Universitas Hasanuddin.

Dari tulisan tersebut tergambar jelas kecerdasan Karaeng Pattingalloang yang menguasai Bahasa Portugis. Tidak hanya itu, ada juga yang menyebutkan ia menguasai enam sampai tujuh bahasa, bahakan sangat mahir berbahasa latin. Kecerdasan itu tentu tidak didapatnya dari kursus bahasa asing. Posisi sebagai Mangkubungi kerajaan Gowa-Tallo membuat Karaeng Pattingalloang  banyak bergaul dengan orang Eropa yang datang membawa barang dagangan maupun yang berdiam di Bandar Makassar.

Puas mengelilingi museum, kami kembali ke mobil dan melanjutkan tour ke tempat berikutnya, Benteng Rotterdam. Benteng ini jauh berbeda kondisinya dengan benteng Somba Opu. Selain bangunan yang memang berbentuk ‘benteng’, area fort Rotterdam jauh lebih bersih disbanding benteng sebelumnya. Lokasi yang berada tidak jauh dari Pantai Losari membuat tempat ini sering ramai pengunjung.

Masyarakat Bugis-Makassar dulu menamai benteng ini dengan nama Benteng Ujung Pandang. Tetapi setelah jatuh ke tangan Belanda, Cornelis J. Speelman yang saat itu menjadi panglima perang, mengganti nama Benteng Ujung Pandang menjadi Benteng Rotterdam. Nama itu diambil dari nama kampung halaman Speelman di Belanda.

Meski sejak dulu tidak menyukai pelajaran sejarah, perjalanan bersama peserta TravelNBlog Makassar kali ini membuat saya melihat sejarah dari sisi berbeda. Sejarah bukan soal mengingat puluhan tanggal penting dan tahun-tahun yang berdarah. Sejarah bukan soal siapa pahlawan ataupun penghianat. Sejarah adalah pelajaran seumur hidup yang kurikulumnya tidak boleh kaku seperti di sekolah.














Selasa, 24 November 2015

Seragam Untuk Sobat 2015

Perjalanan ini bisa disebut perjalanan ter-ekstrim yang pernah saya lalui seumur hidup. Mobil yang saya tumpangi bersama beberapa teman hampir saja melompat ke jurang di sebelah kiri jalan jika saja sang sopir tidak sigap mengendalikan mobil terios putih yang sudah berubah jadi abu-abu terkena debu. Saya hanya bisa terus merapal doa dalam hati. Kalaupun kami mati dalam perjalanan ini, paling tidak kami mati saat sedang mengantarkan seragam untuk sobat kecil di pedalaman Barru.
“dimana kah sebenarnya desa yang mau kita datangi ?” driver yang membawa kami sudah beberapa kali melontarkan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang saya  pun tidak tahu jawabannya. yang s aya tahu, desa itu berada di kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru. Untuk menuju kesana,  sudah ada teman yang menunggu kami di Kota Barru yang nantinya akan mengantarkan sampai  ke lokasi penyaluran seragam.

Estimasi perjalanan kami ternyata salah. Berangkat pukul 15.00 dari kota Makassar membuat kami sampai di kota Barru saat adzan Maghrib sudah berkumandang. Setelah mampir shalat, mobil kembali melaju menembus jalanan Barru yang berkelok-kelok.

Karena gelap, praktis kami tidak bisa menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Penerangan hanya berasal dari 3 mobil rombongan kami. Selebihnya berasal  dari rumah warga yang berjejer di kiri kanan jalan. Semakin jauh melalui jalan berkelok kiri kanan jalan sudah berubah menjadi hutan belukar.

Beberapa kali saya mencoba memejamkan mata, tapi gagal. Sopir yang tadi tidak berhenti melontarkan pertanyaan kepada kami sekarang sudah diam bak kehabisan batrei. Mungkin ia lelah. Hanya Cita Citata yang masih semangat melantuntankan lagu-lagunya lewat pemutar dvd yang ada di mobil.

Setelah melalui perjalanan yang panjang dan seru rombongan kami sampai juga di desa Pattallassang, kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Kami disambut oleh beberapa warga dengan jabat tangan yang sangat erat sertad isuguhi berbagai macam makanan. Katanya mereka sudah menunggu kedatangan rombongan kami sejak sore. 

Keesokan harinya setelah shalat subuh yang sedikit telat, saya keluar dari rumah panggung tempat kami istirahat. SD Inpres Pattalassang berdiri hanya beberapa meter dari rumah. Kami memilih berkeliling sekolah serta menghirup udara segar khas pedesaan di pagi hari.

Baru beberapa menit berkeliling sekolah, sudah muncul satu dua anak SD dengan seragam olahraga dan alas kaki sandal. Wajah mereka terlihat segar. Dari informasi yang saya dapatkan dari pihak sekolah, beberapa diantara mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk sampai di sekolah. Itu sebabnya mereka harus berangkat pagi-pagi buta jika tak ingin terlambat.
Karena penasaran, saya berusaha mendekati anak perempuan yang berdiri dekat tiang bendera. Ia tampak malu-malu dan sesekali melirik ke arah kami. Beberapa beberapa pertanyaan saya ajukan tapi ia tidak bergeming. Hanya menunduk kemudian memainkan daun-daun bunga yang ada di hadapannya.  Baiklah, saya tidak akan memaksa.

Setelah perkenalan yang gagal  itu, saya memutuskan kembali ke rumah tempat kami menginap. Bersama beberapa teman menyiapkan perlengkapan yang akan digunakan serta memastikan seragam sudah dipacking dengan rapi.

Setelah semua siswa berkumpul, kami memperkanalkan diri dan membawakan games kepada adik-adik. Senang sekali melihat wajah ceria mereka. setelah bermain games dan ice breaking, tanpa disangka driver yang membawa kami juga ikut memperkenalkan diri dan menceritakan sebuah dongeng. Saya surprise karena ia terlihat sangat mantap bercerita tentang monyet dalam bahasa daerah. Sebagai informasi, anak-anak menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. meskipun demikian, mereka tetap bisa mengerti bahasa Indonesia sederhana.

Kegiatan sudah selesai, seragam sudah dibagikan, saatnya kami kembali ke Makassar. “Terima kasih kak, sudah diijinkan ikut kegiatan ini. Kalau ada kegiatan lain ajak-ajak ya” Ismi, gadis manis yang ikut dalam rombongan kami berkomentar. Saya hanya tersenyum dan berterima kasih kembali kepada adik-adik hebat SD Pattallassang. Mereka berada jauh di puncak gunung. Jauh dari akses listrik tetapi bisa melihat lampu kerlap kerlip Kota Pangkep dan Barru di malam hari. Semoga puluhan kilometer jalan kaki mereka terbalas dengan impian yang dikabulkan. Aaamiin.

mereka adalah masa depan Indonesia

Relawan menyiapkan seragam yang akan dibagikan

Ibu guru mengatur barisan

Anak yang bangun terlalu pagi (mungkin) :D

Berisap-siap untuk games
Berbeda itu tidak penting




Senin, 26 Oktober 2015

Reportase Blogger Camp Makassar 2015

Write what disturb you. What you fear. What you have not been willing to speak about. Be willing to split open” Natalie Goldberg

“Emang kamu blogger ?” komentar seorang teman ketika memberitahunya tentang keikutsertaan saya dalam  blogger camp.  “Iya dong.  Kan sudah punya blog. Sudah tulis bebeapa postingan. Sudah pernah ikut beberapa lomba meskipun tak pernah menang” sedikit malu, saya menjawab dalam hati. Teman saya itu terus mencecar saya dengan pertanyaan terkait blog sambil tetap asyik menonton 'Tetangga Masa Gitu' di salah satu stasiun TV asuhan Net Media.


Meskipun tergolong sudah lama memiliki blog, tulisan saya memang belum terlalu banyak. Saya juga memilih menjadi pemain aman. Tak pernah menulis dengan tema-tema berat. Kebanyakan tentang kehidupan sehari-hari, pengalaman berkesan serta cerita-cerita hasil dari travelling.

Saya menikmati setiap tulisan yang terposting di ‘rumah’ saya. Padahal beberapa tahun lalu saya tergabung dalam komunitas-blogger-malu-sebut-alamat-blog. Alasannya sederhana, belum percaya diri. Jadi setiap ditanya “alamat blog kamu apa?” maka jawabannya bisa dipastikan hanya senyum simpul dengan jawaban “jangan baca tulisan saya ya, malu”.

Beruntung saya dipertemukan dengan berbagai komunitas yang ada di Makassar. keaktifan di beberapa komunitas membuat materi dalam menulis menjadi lebih banyak dan bisa lebih mengalir. Sangat jauh berbeda saat menjadi anak ‘rumah-kampus’.  
Berfoto setelah mengikuti outbond di acara blogger camp Makassar 2015


Kesempatan untuk memperluas jaringan dan menambah ilmu tentang dunia blogging  tercapai saat mengikuti kegiatan blogger camp 2015. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memperingati hari blogger nasional yang jatuh pada tanggal 27 oktober 2015. Kegiatan diadakan serentak di 4 kota yaitu Jakarta (Hulu Cai Bogor) , Purwokerto (wisma Putih, Ketenger, Baturraden), Surabaya (Taman Dayu) , dan Makassar (PPLH Puntondo, Takalar).

Blogger Camp diadakan selama dua hari mulai tanggal 26 oktober sampai 27 oktober. Meksipun masih malu-malu mengaku blogger karena jumlah tulisan yang masih sedikit, saya memberanikan diri mendaftar blogger camp Makassar serta nekat mengambil ijin kerja selama dua hari.
salah satu bangunan di PPLH Puntondo yang berhadapan langsung dengan laut


Blogger camp Makassar diadakan di PPLH puntondo, kabupaten Takalar dan dihadiri oleh sekitar 51 orang blogger dari berbagai kabupaten di sulawesi selatan. Hari pertama dimulai dengan sesi sharing blogger serta sharing tentang photo blogging. Kagiatan diisi dengan games serta berbagai pemberian hadiah dari sponsor yang semakin menambah suasana cair diantara sesama blogger. Hari kedua diisi dengan acara outbond. Dilanjutkan dengan sesi sharing blogger dan sharing tentang digital marketing.

Salah satu yang menjadi kendala saat melakukan live tweet dan live blogging di lokasi blogger camp Makassar adalah jaringan seluler yang terbatas. Beberapa kali teman menggurutu karena koneksi internet yang melambat. Untungnya saya menggunakan koneksi dari indosat yang tetap stabil meski jauh dari perkotaan. Pengguna indosat semakin dimanjakan dengan keberadaan indosat love yang memudahkan dalam penggunaan media sosial.

Tema yang diusung dalam blogger camp tahun ini adalah “membangun kredibilitas blog”. Seperti yang dikatakan salah satu penggagas blogger Camp,  Matahari Timoer yang dikutip melaui seluler.id “Hari Blogger Nasional akan menjadi momentum yang tepat bagi insan blogger Indonesia, untuk semakin menguatkan kredibilitas mereka kepada publik...”

Ngomong-ngomong soal Kredibilitas dalam menulis blog berhubungan dengan kapabilitas, akurasi dan kualitas tulisan dalam blog. Ibaratnya rumah, isi blog akan menggambarkan pemilik dari blog itu sendiri. Bayangkan jika barang-barang yang ada di ‘rumah’ semuanya  adalah barang curian atau barang yang tidak jelas, maka rusaklah kredibilitas dari sang pemilik rumah.

Dengan 72,7 juta pengguna internet aktif di Indonesia, pertukaran informasi semakin cepat sehingga membuat berita tersebar hanya dalam hitungan detik. Mengetahui berita-berita terkini, berita ter-hot, berita penting, ataupun informasi tak penting tak perlu lagi bertatap muka atau berkirim surat. Hal tersebut menjadi tantangan untuk masyarakat digital agar lebih kritis dalam bijak dalam membagikan informasi. Blogger diharapkan bisa lebih meningkatkan kredibilitas untuk perkembangan dunia internet yang lebih positif.






pemberian arahan dari panitia sebelum berangkat

sesi sharing


Foto bersama setelah outbound

sharing dari Om Made tentang digital marketing

wajah ceria salah satu peserta blogger camp makassar

Senin, 10 Agustus 2015

Mengenal Rammang Rammang

Jika sedang berada di Makassar atau provinsi Sulawesi Selatan, sempatkanlah mengunjungi kawasan karst Rammang Rammang. Dari banyak kawasan karst di Indonesia, Rammang Rammang menjadi kawasan karst terluas serta masuk dalam kawasan cagar alam UNESCO. Sayang sekali jika melewatkan mengunjungi tempat ini.



Rammang Rammang berada tepat di Kabupaten Maros, desa Salenrang, kecematan Bontoa. Lokasi yang tidak terlalu jauh dari kota Makassar dan Bandara hasanuddin, membuat Rammang Rammang menjadi tempat yang tepat untuk mengisi liburan atau sekedar traveling. Hanya butuh waktu sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan motor dari bandara. Jika mengendarai kendaraan umum, bisa menggunakan angkot yang disebut pete’ pete’ oleh orang Makassar.

Tiba di kawasan Rammang Rammang kita akan disuguhkan dengan keindahan hamparan batu karst yang berdiri kokoh. Keindahan terasa lengkap jika padi di area sawah petani setempat masih menghijau. Perpaduan warna hitam dan abu-abu batuan karst tersebut akan membuat kita berdecak kagum.

Jika hutan terkenal dengan banyaknya pepohonan ataupun kenekaragaman satwa yang terdapat di dalamnya, maka di kawasan Rammang Rammang terdapat sebuah hutan yang disebut hutan batu. Hutan tanpa pohon yang menjulang tinggi melainkan sekumpulan bebatuan karst yang indah.

Selain  hutan batu, terdapat juga beberapa goa prasejarah di kawasan Rammang Rammang. Di dalam goa tersebut bisa ditemui banyak lukisan-lukisan prasejarah berupa cap tangan atau gambar hewan. Lukisan tersebut berhubungan erat dengan  kepercayaan yang dianut oleh masyarakat prasejarah.
Dermaga satu Rammang Rammang

Tidak lengkap rasanya jika berada di Kawasan Rammang Rammang dan tidak mengunjungi Desa Berua. Desa ini bisa dijangkau menggunakan perahu dari dermaga satu yang terletak di tepi jalan utama, atau dermaga dua yang melewati taman hutan batu.


Harga sewa perahu bisa mencapai 200 ribu rupiah. Harga tersebut sudah termasuk biaya kembali ke dermaga dan masih bisa ditawar sesuai kemurahan hati pemilik perahu.

Sensasi naik perahu di aliran sungai pute menuju desa Berua sungguh memacu adrenalin bagi yang tidak terbiasa dengan mode transportasi yang satu ini. Ditambah lagi jika tak bisa berenang. Perahu yang hanya bisa memuat 4-5 orang ini terkadang oleng jika penumpang bergerak atau perahu berpapasan dengan perahu lainnya yang membuat ombak kecil di sekitar sungai.


Tapi tidak usah khawatir, pemandangan sekitar sungai akan mengalihkan perhatian anda dari perahu ini. Kiri kanan sungai bisa ditemui pohon bakau dan nipa. sesekali beberapa jenis burung beterbangan dari balik pepohonan tersebut. Sayang suara alam tersebut ditelan suara deru dari mesin perahu.

Sampai di desa Berua, pengunjung akan dihadapakan dengan hamparan sawah dan empang yang dikelilingi oleh pegunungan karst. indah dan megah. Hanya terdapat belasan rumah di desa ini. Rumah- rumah tersebut bisa dijadikan tempat tinggal bagi pengunjung yang datang. Tentunya dengan ijin yang empunya.




Jika ingin melihat gugusan bintang di malam hari, pengunjung bisa menginap atau camping di desa Berua . terdapat beberapa warung di desa ini. Selain itu,  pemerintah sudah membangun sebuah mushallah tidak jauh dari dermaga Berua. Di sebelah mushallah, terdapat beberapa wc dengan air yang segar  semakin memudahkan pengunjung yang ingin memenuhi ‘panggilan alam’.  

Dalam rangka memperkenalkan kawasan Rammang Rammang, termasuk desa Berua, Dinas parawisata sulawesi selatan baru-baru ini menyelenggarakan Rammang- rammang full moon festival yang diadakan di desa Berua. Festival ini menampilkan beberapa tarian tradisional dan atraksi khas sulawesi selatan. Ada musik gambus, atraksi mappadendang, tari pepe-pepe baine, musik pakacaping, sendra tari taman bidadari, mappasili, angngarru serta diselingi dengan musik dan nyanyian modern.
Langkah pemerintah mengenalkan parawisata rammang- rammang melaui festival patut diapresiasi. Kita berharap geliat parawisata sulawesi selatan semakin meningkat seiring dengan upaya pemerintah untuk terus berbenah. Dan yang terpenting, Sebagai wisata alam, kelestarian Rammang Rammang menjadi tanggung jawab kita bersama. Diantaranya dengan tidak membuang sampah di kawasan Rammang Rammang. Setiap pengunjung harusnya mempunyai trash bag sendiri dan membawa pulang sampahnya.

Kelestarian Rammang Rammang bisa terwujud apabila pengunjung sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam, serta didukung oleh regulasi yang tepat. Olehnya,  pesona Rammang Rammang bisa terus dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Enjoy Rammang Rammang ^^



Jumat, 26 Juni 2015

Meraup Pahala Ramadhan Berlimpah

Setiap kali ramadhan, setiap itu pula kita lebih sering mendengar kata ngabuburit. Kata ini berasal dari bahasa sunda  yang arti luasnya yaitu menghabiskan sore hari sambil menunggu waktu berbuka puasa. 

Berkumpul bersama keluarga, menyiapkan menu berbuka puasa, atau berkumpul bersama teman adalah aktifitas ngabuburit yang lazim ditemui saat ramadhan. Ada juga yang menunggu waktu berbuka puasa dengan menjelajahi masjid-masjid sekitar. Membandingkan menu takjil satu masjid dengan masjid yang lainnya. 

Kegiatan amal selama bulan ramadhan juga meningkat pesat. Panti asuhan penuh dengan santunan makanan, masjid penuh dengan uang celengan tarawih. Kaum dhuafa berbahagia karena tak perlu pusing dengan menu makan malam. Tidak perlu khawatir perut akan keroncongan. 30 hari ramadhan adalah berkah bagi mereka.

Saat membuka media sosial, dengan gampang ditemui kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh pribadi, komunitas maupun lembaga. Mereka berlomba mencari panti asuhan atau lingkungan kumuh untuk dijadikan tempat melaksanakan event ramadhan. Berikut kegiatan yang bisa jadi inspirasi untuk menghabiskan waktu sebelum berbuka sekaligus berbagi keceriaan dengan sesama.

1.      Berbuka puasa bersama masyarakat lingkungan tertinggal
kegiatan komunitas Penyala Makassar di TK TPA daerah tertinggal 

Karena melibatkan banyak orang, kegiatan seperti ini membutuhkan biaya dan tenaga yang lumayan banyak. Keberadaan panitia yang solid dan ikhlas menjadi kunci utama kelancaran kegiatan. Butuh waktu untuk mendata warga dan memastikan jumlah sumbangna atau takjil terbagi rata. Pembiayaan bisa dilakukan melalui sumbangan perorangan atupun mencari sponsor.

2.      Berbuka bersama anak panti asuhan
salah satu kegiatan komunitas di Makassar



Setiap kali bulan ramdhan datang, panti asuhan selalu menjadi target kegiatan sosial. Selain memberikan buka puasa, ada banyak alternatif kegiatan yang bisa dilakukan dengan anak-anak panti asuhan. Melaksanakan berbagai lomba misalnya menghapal surat pendek, lomba azan, lomba mewarnai, cerdas cermat dan masih banyak lagi alternatif lomba yang bisa menambah motifasi mereka.

3.      Berbagi Takjil Ramadhan
Aktifitas perkotaan yang tidak pernah berhenti membuat banyak warga kota yang harus berbuka puasa di perjalanan sembari menembus kemacetan. hal ini bisa dimanfaatkan untuk berbagi buka puasa untuk mereka. Menyiapkan es buah, kurma atau air putih untuk warga yang berbuka di perjalanan adalah salah satu cara meraup pahala berlimpah selama ramdhan.

4.      Berburu Takjil
Postingan teman tentang menu takjil Masjid yang ia datangi

Saya dibuat takjub oleh tingkah salah seorang kawan di media sosial. Ia melakukan perjalanan dari satu masjid ke masjid lainnya untuk mencicipi menu takjil yang tersedia. Setiap hari, ia akan memposting nama masjid tempat ia berbuka puasa disertai foto takjilnya. Mau coba hal serupa?

5.      Berbuka puasa bersama teman
Buka puasa bersama teman atau staff

Kegiatan ini banyak dilakukan saat bulan puasa. Ada yang sampai kebingungan memenuhi undangan buka puasa yang menumpuk. Undangan teman SMA, teman kuliah, teman kantor dan teman-teman yang lainnya.

Bulan ramdhan menjadi momen yang tepat untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya sesuai apa yang telah dijanjikan dalam kitab suci. Jika di hari biasa pahala bersedekah hanya satu, maka di bulan ramdhan pahala dilipatgandakan. Bukan hanya sedekah. Puasa, shalat, membaca kitab suci Al Qur’an, dan semua kebaikan selama bulan ini pahalanya dilipat gandakan.

Tidak mau ketinggalan, banyak yang merlomba-lomba mengejar pundi-pundi pahala  di bulan ini. Ada yang memperbanyak pahala pribadi, ada yang semakin royal membantu sesama dengan terus bersosialisasi. Bagaiaman kamu menghabiskan waktu berbuka puasamu? Apapun itu, semoga semuanya berbuah pahala. Happy fasting :D 



ngaBLOGburit 2015

Minggu, 21 Juni 2015

Rindu Menunggu

Telpon dari ibu sejenak membuatku tertegun, hampir mengeluarkan air mata. Ia menasehatiku untuk lebih bersabar. Menjalani kehidupan dengan ikhlas. Katanya, akan ada masa saya akan berpisah dengan mereka. Jadi tidak usah terlalu diambil hati. Mereka adalah ujian kesabaran untuk saya. Mereka anak-anak dari ibu.

Semuanya berawal dari kejadian beberapa hari lalu. Adik perempuanku yang masih kuliah meminta untuk dijemput di kampusnya. Dengan bergegas, rapat salah satu kegiatan saya tinggalkan. Sesampai disamping kampus, Ia tak ada ditempat seharusnya ia berada. Handphonenya tak diangkat. Pesan singkat yang kukirim tak dibalas. Lagi dan lagi saya mencoba mnenghubungi, tapi sayang hanya operator yang menjawab. Saya mulai gelisah, suara nyamuk yang sedari tadi menemaniku bersahutan dengan suara azan maghrib.

Tak lagi menghitung menit, saya menekukkan kepala. Berharap adikku tiba-tiba muncul. Tidak lama ia menelpon balik, menjelaskan kalau hapenya tertinggal dan ia baru saja selesai shalat. Alasannya tidak kuterima. Ini bukan kali pertama ia memperlakukanku seperti itu. Membuat menunggu. Semua kejadian menunggunya tiba-tiba muncul. Terbayang saat malam dan hujan saya harus menunggunya di depan kampus sendirian. Berteduh di depan lapak penjual pulsa yang hampir tutup. Saat itu saya menunggu hampir dua jam dan ia muncul tanpa rasa bersalah.

Ia naik diatas boncengan motorku dalam diam. Ia pasti tahu saya marah besar. Motor yang kukendarai melaju dengan kencang. Mengejar waktu shalat maghrib yang hampir hampir mendekati isya. Tidak berhenti saya menggerutu dalam hati. Entah mengapa akhir-akhir ini saya gampang sekali tersulut amarah, terutama saat berhadapan dengan anak yang satu ini.


Sebulan lebih di Jakarta membuat rindu akan rumah menyeruak seenaknya. Yang paling aneh adalah saya rindu menunggui adik pulang dari kampus. Mencari-cari tulisan ini yang sebelumnya hanya saya save di folder blog. 

Rumah Tangga

Baru baru ini saya bertemu dengan kawan baru. Dia seorang gadis cantik dan manis. percakapan hari itu bukan hanya saya yang jadi pendengar. Ada beberapa teman lain yang ikut menemani percakapan singkat kami. Dia mulai bercerita tentang keluarga kecilnya. Saya sedikit terkejut mengetahui ia sudah berkeluarga. Wajahnya yang masih tampak sangat muda sama sekali tak menandakan ia adalah seorang ibu dua anak. Ah, saya masih suka menilai dari tampilan luar.

Dia mempunyai dua anak perempuan kembar yang baru berumur 5 tahun. Saya bisa membayangkan betapa imut dan lucunya mereka. Suaminya selingkuh dan menikah dengan perempuan lain. ‘perempuan lain’ itu hamil dan kawan baruku itu menggugat cerai suaminya.

Saya terdiam mendengar cerita tersebut.  Ini benar kan? Ini bukan sinetron kan? Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku. Untuk perempuan single yang baru saja sarjana, cerita tersebut terdengar begitu menakutkan di telinga saya. Sebegitu tragiskah kehidupan rumah tangga?


Semoga saja saya dan siapapun yang membaca tulisan ini akan menemui kehidupan rumah tangga yang indah dan dipertemukan dengan jodoh yang terbaik. Semoga. 

*Tulisan beberapa bulan lalu setelah sarjana. Tetiba ingin diposting ^_^ 

Catatan Perjalanan ke Suku Baduy Dalam (Part 2)

Pada tulisan sebelumnya saya sudah menceritakan separuhperjalanan saya ke suku Baduy Dalam serta bagaimana cara ke suku Baduy Dalam. Dalam tulisan ini saya akan melanjutkan ‘curhatan’ tentang perjalanan ke suku yang menyebut diri mereka orang kanekes ini.
Lagi-lagi berfoto sebelum kembali ke Jakarta
Sampai di tempat yang dituju setelah berjam-jam perjalanan seperti menemukan oase di padang pasir, rasanya sangat senang dan lega . Semoga perumpamaan ini tidak terlalu lebay, karena perasaan lega yang sama saya rasakan saat menginjakkan kaki di perkampungan suku baduy  dalam. Setelah perjalanan melalui tanjakan dan turunan yang tak terhitung serta harus menembus hujan, wajar rasanya saya ingin berteriak keras-keras begitu duduk di teras rumah warga baduy ala pendaki Mahameru gitu.  Untungnya saya masih ingat kalau sedang berada di kampung orang dan harus menjaga sikap (hehhe). 

Belum juga kami masuk ke salah satu rumah warga untuk istirahat,  penjual-penjual buah tangan khas Baduy sudah langsung menghadang  kami dengan  berbagai macam barang untuk dibeli. Mana suku Baduy yang anti modernisasi itu ? Saya sedikit takjub. Penjual-penjual ini ada yang berpakaian Baduy, ada juga yang mengenakan kaos oblong. Belakangan saya tahu kalau pedagang yang berkaos oblong adalah orang  luar yang datang menjajakan dagangan mereka di kawasan suku Baduy Dalam setelah sebelumnya  membayar sejumlah uang ke Jaro (tetua adat). Semacam uang pajak dagang mungkin.

Sebelumnya, ketika memasuki area kampung , sudah ada penjual makanan dan minuman yang menjajakan dagangan mereka di depan rumah-rumah warga.  Bukan makanan atau minuman tradisional ya, tapi makanan dan minuman yang ber ‘merk’ dan banyak diiklankan d tivi. What a surprise!

Suku Baduy ternyata sudah mulai terbuka dengan dunia luar. Dalam ilmu antropologi, warga suku Baduy Dalam sedang mengalami proses akulturasi. Menurut Koentjaraningrat, bapak antropologi Indonesia, akulturasi merupakan proses sosial yang timbul jika sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Akibatnya, unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan asli. Proses ini berlangsung lama karena diterima secara selektif oleh anggota dalam kebudayaan tersebut, seperti yang terjadi di Baduy Dalam. 
anak-anak suku baduy

Selain soal penjual tadi, Buku IPS masa sekolahku ternyata tidak salah, Baduy Dalam memang belum tersentuh listrik. Sumber penerangan hanya obor, lampu charger serta senter yang kami bawa. Kalau masih hidup, mungkin Thomas Alfa Edison akan bersedih melihat masih ada sekelompok orang yang tidak mengggunakan listrik. Bukan karena tidak mendapatakan akses, tapi mereka memang tak mau ada listrik di Suku Baduy Dalam.  Katanya, menggunakan listrik melanggar adat.

Kekukuhan masyarakat Baduy Dalam dalam memegang adat bukan tanpa alasan. Mereka percaya, dengan turun temurun menjaga warisan nenek moyang dan menjaga alam, maka alam juga yang akan menjaga mereka.  Aih, mungkin pejabat-pejabat di kota sana harus studi banding ke kampung ini, bukan ke luar negeri.  Belajar tentang bagimana menghargai dan mencintai alam. Biar tidak ada lagi pembalakan liar perusahaan tertentu yang ijinnya dengan mulus disetujui oleh mereka.

Karena tidak boleh mengambil gambar, tak ada satupun foto kami di  Baduy Dalam. Sudah menjadi aturan tidak boleh berfoto di area suku Baduy Dalam. Tidak hanya itu, pengunjung atau orang luar yang masuk ke suku Baduy Dalam juga tidak diperkenankan menggunakan detergent, sabun atau pasta gigi di sungai. Wah, hidup seperti ini akan sangat menghemat belanjaan. Tapi kalau di kota, saya tidak sarankan melakukan hal serupa.

Kalau dilihat dari model rumah suku Baduy Dalam, tidak jauh dari model rumah suku Baduy Luar. Mungkin bedanya terletak pada penggunaan alat pembuatannya. Baduy dalam tidak menggunakan paku, sedangkan Baduy luar sebaliknya. Bagian dalam rumah suku baduy dalam sangat sederhana. Ada ruangan lapang seperti ruang tamu,  dengan satu kamar bersekat serta dapur. Saya tak melihat ada jendela.

Keberadaan kami di suku baduy dalam hanya beberapa jam saja. Boleh dikatakan, kami hanya menumpang tidur, makan dan buang air. Waktu yang terbatas serta medan perjalanan yang masih jauh membuat kami harus meninggalkan Suku Baduy Dalam secepatnya.

Keesokan harinya, tepat jam 8 rombongan kami meninggalkan perkampungan suku Baduy Dalam setelah sebelumnya pamit pada tuan rumah yang begitu ramah. Kami melalui jalur yang berbeda kali ini. Dengan rute tanjakan dan turunan yang hampir sama dengan jalur kedatangan kami. Bedanya, beberapa kilometer sebelum perkampungan terakhir, jalanan sudah berubah menjadi bebatuan bercampur tanah yang bisa dilalui motor dan mobil.

Di perjalanan pulang, kami melalui beberpaa jembatan. Salah satunya jembatan akar yang terletak di kampung Batara. Jembatan akar ini panjangnya sekitar 15 meter (saya agak buruk dalam memperkirakan jarak +_+) yang terbentang diatas sungai Ciujung. Jembatan ini terbuat dari akar yang kokoh serta bambu sebagai tempat berpijak. Sayangnya ada banyak tulisan di jembatan akar yang sungguh merusak mata. semoga tidak ada lagi yang melakukan hal serupa.
jembatan akar yang terbentang kokoh






Setelah jembatan akar, jembatan-jembatan selanjutnya tergolong modern karena sudah tidak menggunakan akar atau bambu lagi. Di dekat jembatan-jembatan yang ‘modern’ ini terdapat tugu berukir PNPM mandiri pedesaan, progam pemerintah yang  memberdayakan masyarakat pedesaan. Program ini berhenti di akhir tahun 2014.

Rombongan kami yang terdiri dari mayoritas kaum hawa mempunyai karakter yang berbeda-beda. Ada yang ramah, cool, pendiam, dan ribut. Tentunya terlalu dini jika menilai orang hanya dari pertemuan satu hari, tapi bagi saya itu cukup untuk sekedar memberikan gambaran sederhanana tentang karakter dan watak mereka. Sebut saja Eneng, perempuan berparas manis yang sukses jadi bulan-bulanan anggota trip. Sifatnya yang periang dan doyan foto membuatnya bisa dekat dengan siapa saja. Ia bisa menjadi penghibur disela lelah perjalanan yang menjadi-jadi.

Over all, perjalanan kali ini menyisakan banyak kenangan. Saya menemukan banyak teman-teman baru yang tak terlupakan. Perempuan-perempuan berotot besi bertulang baja yang mampu menembus jalan yang kadang terjal dengan ngos-ngosan, tapi secara ajaib bisa kembali bersemangat dan memasang senyum sumringah saat melihat kamera.

Tidak lupa juga dengan Mas-Mas super keren yang jumlahnya hanya segelintir saja. Termasuk akang-akang Baduy yang menjadi guide kami. Eh, tapi jangan salah, mereka yang ‘segelintir’ ini yang menjaga kami (kaum hawa) dan memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang. Yang dengan sabar mengikuti ritme berjalan kami yang terkadang melambat karena lelah. Yang bersedia membawakan tas kami masih dengan senyum.
teman baru, saudara baru
Semoga kita bisa dipertemukan dengan perjalanan-perjalan seru lainnya, dan bisa terus bersyukur bahwa kita dilahirkan di bumi Indonesia.

PS: Kami ketinggalan kereta  jadi harus naik angkot menuju stasiun maja dan nyambung naik commuter line. Sebenarnya mobil elep yang kami kendarai dari desa terakhir harusnya bisa mengantarkan kami sampai stasiun maja, tapi karena Remnya sedang tidak bersahabat sehingga sang sopir tak berani mengantarkan kami lebih jauh. Terima kasih bapak-bapak sopir yang tidak sempat saya tanyakan namanya :D