Sabtu, 30 Januari 2016

Serunya Adventure di Air Terjun Lacolla


Minggu pagi 10 Januari lalu adalah Minggu pagi yang biasa. Setelah subuh saya tertidur kembali. Maklum, gaya gravitasi tempat tidur mengalami peningkatan signifikan. Barulah beberapa jam kemudian saya terbangun, teringat kalau ada janji akan mengikuti trip yang dilaksanakan oleh komunitas Akkarena Soulventure Indonesia. Kami akan melakukan perjalanan menuju salah satu air terjun yang ada di kabupaten Maros. Namanya Air Terjun Lacolla.

Malu sekali rasanya saat sampai di titik temu dan semua peserta trip sudah berkumpul. Tidak apa-apa, saya bukan orang terakhir yang datang terlambat. Masih ada satu orang lagi yang ternyata jauh lebih ngaret. Mengetahui hal tersebut,

Jumat, 29 Januari 2016

Kota Yang Layak Untuk Adi

Siang yang terik khas kota Makassar, saya melaju dengan motor membelah kemacetan di Jl. Pettarani menuju Jl. Sam Ratulangi. Tetapi sebelum sampai ke tujuan, seorang teman meminta dijemput di salah satu travel tidak jauh dari toko Elizabeth di Jl. Urip Sumoharjo.

Baru saja  memarkir motor, saya mendengar bunyi sempritan. Sumber suara itu ternyata berasal dari anak kecil berkaos hitam yang sedang mengatur parkir tidak jauh dari tempat motor saya. Saya tepat berada di depan sebuah travel yang berjarak satu ruko dari ruko toko Elizabeth, tempat anak tersebut mengatur parkir.

Di sisi kiri toko, seorang pria dengan badan berisi terlihat sedang duduk dan mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Di sebelahnya, secangkir kopi susu beserta korek api lengkap dengan sebungkus rokok. Kaos berkera yang Ia kenakan terlihat rapi dan
 senada dengan  jeans dan topinya. Matanya awas menatap sekeliling sembari memperhatikan gerak gerik pelanggan yang keluar dari toko. Jika ada yang ingin naik ke kendaraan, segera matanya mengarah ke anak laki-laki di sebelahnya seolah berkata “Itu sanae, pergiko ambil uang parkirnya”, kemudian anak itu dengan sigap membunyikan sempritannya. Berlari-lari kecil mendekati perempuan yang sudah menyalakan mesin motor dan bersiap ingin pergi.

Dari jarak sekitar beberapa meter, saya terus memperhatikan anak itu. Ragu antara ingin bertegur sapa atau langsung menghubungi temanku agar segera keluar dari travel dan kami bisa melanjutkan perjalanan. Ternyata rasa penasaran saya menang. Perlahan langkah kaki saya arahkan mendekati tempat anak tersebut sedang duduk. Setelah sebelumnya bertanya apakah boleh duduk di dekat anak itu. Ia hanya tersenyum pertanda tidak keberatan.

Dari percakapan singkat kami, saya jadi tahu kalau juru parkir kecil itu bernama Adi. Ia melakukan rutinitasnya sebagai juru parkir setelah pulang sekolah. Sementara laki-laki berbaju kaos adalah suami dari kakaknya. Ia mengajak Adi untuk menjadi tukang parkir agar Adi bisa mendapat penghasilan. Meski sekolah sudah gratis, alat tulis dan jajan belum bisa gratis.

Kepada Adi saya banyak mengajukan pertanyaan
 kepo. Mulai dari penghasilan, tempat tinggal, sekolah, serta alasan menjadi juru parkir. Ia menjawab dengan ragu-ragu. Sesekali melirik ke arah lelaki berbaju kaos seperti meminta persetujuan. Ia mengatakan bisa mendapatkan penghasilan sekitar 30 ribu rupiah per hari. Penghasilan yang cukup menggiurkan menurutku. Apa lagi untuk anak kelas 4 SD seperti Adi. Uang tersebut sebahagian ia serahkan ke Ibunya, sebahagian lagi Ia gunakan untuk jajan, begitu menurut penuturannya.

Adi adalah satu dari sekian banyak juru parkir anak-anak yang ada di wilayah Makassar. Bisa dipastikan juru parkir ini tidak terdaftar di perusahaan daerah parkir yang merilis data jumlah petugas parkir mencapai 1.297 yang tersebar di 14 kecamatan se-Makassar. Dari data tersebut, jumlah petugas parkir terbanyak ada di Kecamatan Ujung Pandang (307), kemudian Kecamatan Wajo (244) dan Kecamatan Panakukang (233). Tidak heran karena di kecamatan-kecamatan ini banyak tempat  strategis dan dipenuhi dengan pusat perbelanjaan maupun kawasan wisata.

Adi bukan satu-satunya anak yang memilih menjadi juru parkir sepulang sekolah.  Sebut saja Ricki (2 SMP), Habib (2 SMP), dan Agil (4 SD). Mereka adalah juru parkir paruh waktu di salah satu cafe di Jl. Urip Sumoharjo. Dari pengakuan mereka, tidak ada yang dipaksa menjadi juru parkir. Semua mereka lakukan atas keinginan sendiri.


Pendapatan Ricki, Habib dan Agil dengan menjadi juru parkir  rata-rata 10 ribu per harinya, “Itu uangnya dikumpul di kak Acil, nanti Kak Acil yang bagi”, begitu kata Ricky saat kutanya bagaimana mereka membagi uang hasil parkir.

Ricki yang saya hampiri saat itu sedang duduk di atas salah satu motor pengunjung kafe terlihat  bermain game di handphone android merek Korea yang ia pegang. “Itu hasil dari parkir?” saya menatap Ricky dengan berbinar dan takjub. “Bapakku belikanka” Ia menoleh sebentar, tertawa dan melanjutkan bermain game. Saya kembali takjub.

Mayoritas dari anak-anak juru parkir yang kutemui mengaku hanya bekerja sepulang sekolah. Usia mereka tentu saja belum layak untuk bekerja. Jika merujuk ke Undang-Undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, anak adalah penduduk berumur di bawah 18 tahun.  Juru parkir ini masih bersekolah di sekolah dasar dan sekolah tingkat menengah yang tentu saja masih berkategori ‘anak’.

Banyaknya anak-anak yang menjadi juru parkir membuat saya miris. Mereka tidak seharusnya menghabiskan waktu di tepi jalan raya dengan banyaknya bahaya yang mengintai. Mulai dari resiko kekerasan fisik, psikis hingga kekerasan seksual yang bisa saja mereka alami.

Penasaran dengan Adi, juru parkir yang pertama saya temui, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke sekolahnya. Sampai di sekolah saya tersadar kalau lupa mencatat nama lengkap sekolah anak itu. Padahal terdapat tiga sekolah dalam satu kompleks yang saya datangi. Saya masih ingat Adi bilang kalau dia masih kelas 4. Itu artinya saya bisa mempersempit pencarian hanya di kelas 4 masing-masing sekolah.

Saat kutemui, Adi sedang jajan bersama teman-temannya. Ia tersenyum malu saat kutanya apa masih ingat dengan saya. Setelah itu Ia berlari masuk ke dalam kelas. Memaksanya untuk bercerita sepertinya bukan pilihan tepat. Beberapa teman Adi malah lebih terlihat agresif memberondongku dengan banyak pertanyaan. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan menggali sebanyak mungkin informasi tentang Adi dari mereka.

Fadli, salah satu teman Adi dengan leluasa bercerita bahwa Adi adalah ‘bos’ di kelas 4. Bos? Saya meyakinkan diri tidak salah dengar “Iye Kak. Adi itu bos di kelas. Kalau ada yang pukul
 ki toh, langusungki tanyaki (Adi) nanti dia yang hadapi”. Saya mengangguk-angguk. Begini ya masa kecil anak kota jaman sekarang?

Beberapa anak-anak teman Adi kutanya tentang aktifitas mereka sepulang sekolah. Tidak ada yang menjawab ‘juru parkir’. Mereka bilang “Biasa kak. Main, makan, tidur, belajar”.

Saya jadi tambah penasaran. Mungkinkah teman-teman Adi tidak tahu kalau dia menjadi juru parkir sepulang sekolah? Saya sebisa mungkin tidak keceplosan mengatakan bertemu Adi saat sedang parkir. Mengganti topik pembicaraan dan mengucapkan selamat tinggal karena tidak berhasil mengajak Adi berbicara.

Adi, Ricki, Habib dan Agil hanyalah sebahagian kecil potret kehidupan anak-anak Makassar  yang memilih mencadi juru parkir paruh waktu. Mendapatkan penghasilan tentu saja menggiurkan untuk anak-anak seusia mereka. Hanya dengan mengatur dan memastikan semua motor dan helm aman, mereka bisa dibayar hingga 30 ribu per setengah hari mereka bekerja. Tentu saja dengan pengawasan orang dewasa.

Dibalik kekhawatiran tentang nasib anak-anak ini,  warga Makassar harus bersyukur karena beberapa waktu lalu Walikota Makassar sudah mencanangkan kota tercinta ini menjadi Kota Layak Anak (KLA) tepatnya pada tanggal 22 September 2014. Pencanangan ini ditandai dengan penandatanganan spanduk dukungan.

Untuk mencapai predikat KLA, kota Makassar harus memenuhi 31 indikator yang tertuang dalam peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 12 tahun 2011. Pemerintah melalui salah satu berita online mengaku sudah memenuhi 31 indikator yang dimaksud. Mereka optimis tahun ini bisa memperoleh predikat Kota Layak Anak.

Melihat nasib Adi, Ricky, Habib dan Agil, entah mengapa piagam KLA serasa masih sangat jauh.







Beberapa sumber:


Kamis, 28 Januari 2016

Asa di Paotere

Bangunan berwarna hijau itu adalah MIS MDIA Paotere, satu dari 45 Madrasah Ibtidaiyah  swasta yang ada di Kota Makassar. Sekolah setingkat SD ini terletak di Jl. Sabutung, Lr Masjid, Kecamatan Ujung Tanah, hanya berjarak selemparan batu dari pelabuhan Paotere. Terdapat 5 ruangan kelas dan satu ruang guru. 

Murid MIS MDIA Paotere yang terdaftar berjumlah 102 siswa. Jumlah ini bisa berkurang drastis jika sudah di dalam ruangan kelas atau sedang musim penghujan. 




PINTU HIJAU| satu-satunya akses menuju ruang sekolah. Pintu ini akan ditutup pada pukul 08.30. Murid yang datang terlambat harus mengetuk berkali-kali sampai ada guru yang membukakan pintu. 

SERIUS| Proses belajar mengajar sedang berlangsung. Meja dan kursi diatur berjejal agar muat di ruangan yang tidak seberapa besar.



TAWA| Ruang kelas empat. Di balik lensa kamera, tawa mereka begitu renyah.



RIUH| Ruangan berbeda, aktifitas tetap sama. Riuh suara anak-anak serta meja yang beralih fungsi menjadi gendang menjadi pemandangan saat guru sedang tidak di kelas. Kondisi tersebut didukung oleh ruangan kelas 3, 4 dan 5 yang terletak sejajar dan hanya dibatasi dinding tipis.
Beginilah aktifitas anak-anak saat keluar main. 

KANTIN| Jajan ala anak SD. Tepat di depan pintu sekolah, godaan berupa jajanan beraneka ragam.


REWA| Karena anak perempuan selalu benar.

KORBAN KEJAHILAN| Seorang anak perempuan mengambil es batu dari balik baju temannya yang baru saja dijahili.

MENONTON| Di lantai dua sekolah terdapat ruangan kelas 6. Tiba waktu keluar main, murid-murid bisa keluar kelas dan menyaksikan aktifitas kapal-kapal kecil yang sedang bersandar.


HARAPAN|Sisiwi ini menatap malu-malu ke arah tangga menuju lantai dua. Mata jernihnya penuh dengan harapan. 

Minggu, 24 Januari 2016

Empat Jam di Artwork Café




Lewat radio
Kan ku sampaikan
Kerinduan yang lama terpendam…..

Tembang dari Sheila on 7 menyambut saya saat memasuki ruangan Artwork café yang terletak di kawasan ruko jalan Urip Sumoharjo no 44, Makassar. Sebenarnya ini kali kedua saya mengunjungi Artwork Café. Pertama saat ulang tahun komunitas blogger Anging Mamiri. Kedua saat menjalankan tugas revew dari kelas menulis kepo. Kedua kali mengunjungi tempat ini ternyata tidak lantas membuat saya hapal lokasi tepatnya. Untuk hal itu, saya patut menyalahkan billboard dan spanduk-spanduk di bagian depan café.

Saya tidak begitu paham soal interior dan estetika. Selama itu kelihatan enak di mata dan bagus saat difoto sehingga tidak malu-maluin saat di posting di instagram, maka itu sudah cukup. Artwork café menyajikan itu semua. Saya merasa sangat puas dengan suasana yang disajikan serta lagu-lagu dari om Duta yang saat itu diperdengarkan.

Dinding adalah area paling menarik  dari Artwork Cafe. Typography, jam classic, quote menarik, serta bingkai-bingkai yang menghiasi dinding terlihat sangat cantik. Lampu dengan cahaya yang hangat menjadikan tempat ini recomended untuk nongkrong atau rapat kecil dengan komuntas.

bagaimana dengan makanan dan minuman yang disajikan? Malam itu saya dan lima teman lainnya sepakat memesan makanan dan minuman yang berbeda. Demi satu tujuan yaitu agar bisa saling bertukar makanan. pengecualian untuk Om Dandi dan Kak Ruris yang memesan nasi goreng karena sedang kelaparan.


Saya  penasaran dengan Kak Ruris yang terlihat sangat lahap menyantap nasi goreng. Mau tidak mau saya tergoda juga untuk mencobanya. Menyendok nasi goreng dengan kerupuk udang yang terlihat overcooked. Tampilannya tidak membohongi rasa.

Menu yang tersedia di Artwork café terbagi menjadi beberapa yaitu coffe, manual brewing coffe, tea, chocolate and milkshake, mockatil dan menu others. Semua menu tersebut disajikan dengan kisaran harga 10 ribu sampai 22 ribu. Harga tersebut bisa diberi discount jika memiliki kartu member VEDIT.

Banyak keuntungan yang bisa didapat dengan menjadi member VEDIT. Selain diskon di Artwork café, potongan harga juga berlaku untuk kursus dan foto studio yang terletak di lantai dua bangunan ini. Godaan diskon yang sangat menggiurkan, bukan? 

VEDIT adalah singkatan dari Visual Entertaiment Development. Awalnya saya sempat kebingungan membedakan anatara VEDIT dan Artwork café serta apa hubungan antara keduanya. Setelah diberi penjelasan dari Kak Risved, yang belakangan baru saya tahu sebagai pemilik dari keduanya, barulah saya mengerti.

Bangunan yang menjadi tempat Artwork Café terdiri dari dua lantai. Lantai pertama adalah Café, sedangkan lantai dua terdapat studio foto dan ruang untuk belajar atau kursus. VEDIT juga menyediakan kelas bagi yang berminat mengembangkan kemampuan dalam bidang social media, photography, bisnis online serta video.

Menempatkan Café, tempat kursus serta studio foto dalam satu bangunan adalah ide cemerlang. Tidak heran jika tempat ini hampir selalu ramai pengunjung. Menurut penuturan Kak Risved, pengunjung bisa mencapai 150 per harinya dan didominasi oleh kaum hawa.

Menjelang tengah malam kami memutuskan meninggalkan VEDIT yang juga Artwork Café. Saya sendiri berjanji akan datang kembali, mungkin sekedar mencicipi waffle pesananku yang tak kunjung datang malam itu.











Senin, 11 Januari 2016

Cerita Liburan

Siang ini kembali saya menginjakkan kaki di SD Negeri Paccinang, menjalankan rutinitas sebagai pengajar NBS setiap dua pekan. Lagi-lagi saya sendiri. Beberapa teman tidak bisa hadir. Beberapa lagi tidak memberikan kabar apa pun.

Meskipun tidak ditemani siapa-siapa, pertemuan hari ini berlangsung lancar. Anak-anak terlihat sangat antusias seperti biasa. Baru berdiri di depan pintu kelas, mereka sudah berlarian menyambut dan menarik tangan saya untuk disalim. Beberapa dari mereka melompat-lompat penuh semangat sambil menghujani saya dengan pertanyaan “Kak Ifah! Sama siapaki? Dari tadiki? Kenapa tidak pernah kuliat teman ta?” Saya mengusap kepala mereka satu-satu. Meminta mereka untuk duduk tenang.

“Halo...” saya memulai dengan mengalihkan perhatian mereka yang sebahagian besar masih saja berlari-larian di dalam kelas.
“Hai....” mereka menjawab serentak.
“Halo Halo Hai” pertanyaannya saya ulangi
“Hai Hai Halo” mereka mulai duduk di bangku masing-masing.
Pertemuan kali ini saya mulai dengan bertanya mengenai aktifitas mereka selama liburan kemarin. Maklum saja, ini tatap muka pertama setelah hampir sebulan tidak bersua.

Setelah mengajak anak-anak bercerita satu persatu, saatnya meminta mereka menulis. Sesi ini biasanya sesi yang membuat mereka bisa duduk manis.

Karena jam menulis untuk NBS mendekati waktu keluar main, beberapa anak terlihat mulai gelisah. Satu persatu maju dan menyerahkan tulisannya. Berdasarkan tulisan yang terkumpul saya jadi tahu kalau dari kualitas tulisan tangan, Ariel dan Naurah yang paling bagus dan rapih. 

Ariel menulis aktifitasnya  tentang pulang kampung dengan judul ‘Indahnya Liburan’. Ariel pulang ke kampung halamannya Toraja dengan mengendarai bus. Dari tulisan Ariel saya tahu bahwa anak ini rajin. Ia menulis “........Pada pagi hari, saya memperbaiki tempat tidur dan melipat selimut....” aktifitas yang saya sendiri sudah jarang lakukan. Di siang hari, Ariel pergi menggembala kerbau dengan sepupunya. Semua cerita tersebut hanya kurang dari segi penulisan huruf kapital saja. Oh iya, Ariel juga harusnya menulis memandikan kerbau, bukan mengasi mandikan kerbau.

Cerita Naurah lain lagi. Ia menulis tentang perjalanannya berlibur ke Palopo dengan terlebih dahulu singgah di Bone. Tetapi perjalanannya tidak berlangsung mulus, tante Naurah yang dijemput di Bone ternyata tidak bisa ikut ke Palopo karena anak dan suaminya sakit. Naurah juga menuliskan betapa Ia ingin membeli petasan saat tahun baru. Sama seperti Ariel, Naurah juga melakukan beberapa kesalahan dalam penulisan huruf kapital.

Yang paling terakhir menyerahkan tulisan adalah Vanesa. Semua temannya sudah keluar main dan membeli jajanan. Ia masih juga duduk di kursinya dan  berusaha menyelesaikan tulisan dengan judul ‘Aku Liburan Dengan Keluarga Aku” Saya mendekat dan duduk di samping Vanesa, mencari tahu kendala yang dialami anak ini. “Apanya yang susah, dek?” Sebenarnya saya menawarkan bantuan, tetapi kalimat tersebut yang keluar dari mulutku. Ia menggeleng tanda tak butuh bantuan. Saya memutuskan beranjak dari sisi anak itu, tidak ingin mengganggu konsentrasinya.

Meskipun sudah menjelaskan beberapa kali mengenai huruf kapital, anak-anak masih banyak yang melakukan kesalahan serupa. Saya terus menebak-nebak penyebabnya. Misalnya untuk penulisan judul. Dari awal pertemuan pengajar NBS sudah memberikan contoh dan penjelasan bahwa penulisan judul untuk tulisan harus diawali dengan huruf besar. 
“Jadi semua huruf di awal kata judul harus kapital” Saya menyerahkan kembali tulisan kepada salah seorang anak. Ia mengangguk dan tersenyum. Mengambil kertas tulisannya dan memperbaiki kesalahannya.


Tidak semua tulisan sempat saya periksa. Jadi saya putuskan untuk membuat evaluasi juga dalam bentuk tulisan. Evaluasi ini sebenarnya sekaligus latihan menulis untuk saya pribadi. Selain itu, dengan menuliskan koreksi dalam bentuk tulisan untuk masing-masing anak, saya bisa lebih mengenal anak-anak secara personal melalui tulisan polos mereka. 

Jumat, 08 Januari 2016

Percakapan Dengan Tukang Parkir


Malam itu, setelah menghadiri rapat komunitas di salah satu Cafe di Jalan Hertasning, saya bergegas menuju tempat parkir. Dengan senyum mengembang saya mengambil helm yang sepertinya diletakkan dengan sengaja di atas generator cafe, terlindung dari hujan. Tenang saja, itu helm punya saya. Yang membuat saya tersenyum lebar karena tadinya benda tersebut saya sematkan di kaca spion motor dan hujan deras baru saja berlalu beberapa menit sebelumnya.

Seorang laki-laki yang saya perkirakan umurnya baru belasan mendekati motor saya. membantu mengeluarkan motor saya yang terjebak di tengah-tengah motor lain yang berjajar rapi dua saf. Ia memakai rompi berwarna orange. Sembari menggeser motor yang lain, saya mengajaknya berbincang. Memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.

Sekolahki, dek?” saya memulai dengan sok ramah. Menebak-nebak kalau anak itu masih sekolah.

Iye’. Masih sekolah. SMK” Sekarang Ia sudah berhasil meloloskan motor saya.

Berapa biasa kita’ setor tiap hari?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Saya ingat, seorang juru parkir lain pernah memberitahu kalau setiap hari Ia harus menyetor hasil jasa parkirnya sebesar dua puluh ribu rupiah kepada PD parkir. Jadi setiap hari, ada petugas dari PD parkir yang yang akan berkeliling dan mendatangi masing-masing areal parkir untuk meminta setoran.

Dua puluh ribu. Barusan pergi itu petugasnya” anak itu menjawab pertanyaan saya dengan sabar.

Ndak papaji kutanya-tanya toh?” saya sebenarnya sudah naik diatas motor, tetapi belum juga memutar kuncinya. Saya masih ingin mengajukan banyak pertanyaan. Penasaran dengan anak yang satu ini. Ditambah lagi ia mengaku bersekolah dan menjalani profesi sebagai juru parkir setelah pulang dari menuntut ilmu.

Iye, kak. Kugantiji kakak ku, dia yang urus” Ia masih menjawab saat kutanya perihal cara menjadi tukang parkir dan mendapat lisensi sebagai juru parkir. Yang begituan naurus di PD Parkir, Kak, di Jalan Hati Mulya”.
“Tapi disini ndak adaji preman toh? Yang biasa minta setoran selain pemerintah?” saya teringat dengan salah satu tukang parkir bank tidak jauh dari tempat saya bekerja. Saat itu saya penasaran dengan kartu parkir yang ia kalungkan di leher. Katanya itu tanda kalau dia tukang parkir resmi. Tidak sama dengan temannya yang satu, sambil melirik ke salah satu tukang parkir yang sedang merokok tidak jauh dari tempatnya.  Katanya ia adalah preman yang tiba-tiba muncul mengancamnya untuk berbagi lahan parkir. Tidak mau nyawanya melayang, lahan parkirnya ia bagi dengan preman.

Tidak adaji kalau di sini, Kak” anak itu masih setia menjawab pertanyaan saya. sementara itu mesin motor sudah saya nyalakan, dan kewajiban membayar parkir sudah saya jalankan.


Belajar yang rajin ya” saya beralu dengan mentipkan kata-kata mutiara. Sungguh, saya senang sekali malam ini, karena sudah membayar jasa parkir dengan ikhlas dan memeperoleh pelajaran berharga tentang kerja keras. 

PARKIR


Janganmi kak kasiki, kan tidak parkirja” saya berkata pada kakak perempuanku yang baru saja keluar dari salah satu toko retail yang keberadaannya sudah seperti jamur, dimana-mana. Ia terlihat merogoh tas kecilnya, mencari uang ‘kecil. “JanganmiSaya masih bersikeras agar ia tidak bayar parkir. Toh saya tidak parkir dan masih tetap tidak meninggalkan kendaraan . sementara itu, anak laki-laki dengan celana jeans robek-robek sudah berdiri beberapa langkah dari motorku. Kakak perempuanku hanya diam. Ia naik ke boncengan setelah memberikan uang berwarna abu-abu bergambar pangeran Antasari kepada tukang parkir itu. Saya gondok dan tak ikhlas. Apa lagi melihat penampilan tukang parkir yang tidak memakai rompi oranye. Artinya dia tukang parkir liar, kan? Saya memacu kendaraan. Meninggalkan tempat tersebut dengan berbagai macam prasangka jelek terhadap anak-laki-laki tukang parkir tadi. Mungkin dia adalah salah satu geng motor? Atau dia gunakan uang hasil parkirannya hanya untuk membeli rokok, atau bahkan untuk nge’lem’? setan-setan di kepala saya berpesta.


Setelah jauh dari toko tadi, saya masih bertanya kepada kakak, kenapa Ia ngotot memberikan uang parkir.”Ah, diam mako. Kasimi saja. Dari pada na tobo’ko”  saya terdiam. Tobo’ dalam bahasa Makassar berarti ‘tikam. Jadi kakak baru saja menyuruh saya diam. Ia tidak mau bermasalah dengan tukang parkir yang tadi karena takut kalau-kalau ia membawa benda tajam. Siapa yang tahu kalau dia sedang tidak mabuk kemudian tanpa pikir panjang menikam kami hanya karena tidak mau bayar parkir.

Lain lagi cerita seorang teman tentang parkiran di Toko Agung yang terletak di Jl. Sam Ratulangi, Makassar. Lokasi ini adalah salah satu tempat yang sudah menjadi keniscayaan terkena macet di hari kerja. Lokasi di tengah kota dan di depan Pusat perbelanjaan menjadi salah satu alasan. Salah banyaknya adalah parkiran yang tidak rapi serta tukang parkir yang ‘agresif’. Saya sebut agresif karena jumlah mereka banyak dan tidak ragu menghalangi setengah jalan hanya untuk mengarahkan motor untuk parkir di tempat mereka. “Parkir disiniki, disiniki. Penuh di depan,” begitu kata mereka setiap kali pengunjung Agung terlihat membeludak. Tidak habis pikir saya dengan tingkah mereka yang sangat mengganggu kenyamanan berkendara itu.  Kata teman, parkiran tersebut dibackingi oleh seorang preman. “Kenapa premannya tidak ditangkap?” saya bertanya dengan polosnya. Dan dengan wajah serius Ia mengatakan kalau preman itu dekat dengan ‘orang besar’ sehingga tak tersentuh aparat. Saya manggut-manggut. Memilih antara percaya dan tidak percaya.

Kejadian-kejadian seperti itu mungkin sudah lekat dengan sebahagian besar masyarakat perkotaan. Termasuk saya. Konsekuensi memiliki kendaraan sendiri adalah kerelaan untuk membayar jasa parkir motor dan segala ketidaknyamanan parkiran terkhusus di Kota Makassar. Coba kalau naik kendaraan umum, tentu saja tidak ada yang namanya uang parkir busway atau uang parkir pete-pete. Lebih hemat, tidak? Kenyataannya sama saja.  


Di sisi lain, keberadaan tukang parkir juga sangat membantu di tengah maraknya pencurian kendaraan bermotor ataupun helm. Sebelum meninggalkan kendaraan bermotor biasanya saya  selalu bertanya “Amanji helm, pak?” dan dengan yakin tukang parkir menjawab “amanji itu kalau di sini, dek,” setelah itu saya akan melenggang pergi dengan hati plong. Keberadaan tukang parkir sudah seperti buah simalakama. Di satu sisi menguntungkan, dan di sisi lain menyebalkan. Mereka bisa muncul di mana saja secara tiba-tiba. Bahkan jika pengendara tidak turun dari motornya sekalipun.
Dari semua cerita tentang parkiran di tulisan ini, harapan saya sederhana sebenarnya. Saya hanya ingin parkiran gratis dan aman. Itu saja. Kalau tidak bisa gratis, paling tidak aman. Tidak hanya di Mal, tapi di semua sudut tempat. Harapan yang sederhana, bukan?


Semoga saya tidak putus asa dengan kota ini.