Malam itu, setelah menghadiri rapat komunitas
di salah satu Cafe di Jalan Hertasning, saya bergegas menuju tempat parkir.
Dengan senyum mengembang saya mengambil helm yang sepertinya diletakkan dengan
sengaja di atas generator cafe, terlindung dari hujan. Tenang saja, itu helm punya saya. Yang membuat saya tersenyum
lebar karena tadinya benda tersebut saya sematkan di kaca spion motor dan hujan
deras baru saja berlalu beberapa menit sebelumnya.
Seorang laki-laki yang saya perkirakan umurnya
baru belasan mendekati motor saya. membantu mengeluarkan motor saya yang
terjebak di tengah-tengah motor lain yang berjajar rapi dua saf. Ia memakai
rompi berwarna orange. Sembari menggeser motor yang lain, saya mengajaknya
berbincang. Memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.
“Sekolahki, dek?” saya memulai
dengan sok ramah. Menebak-nebak kalau anak itu masih sekolah.
“Iye’. Masih sekolah. SMK” Sekarang Ia sudah berhasil meloloskan motor saya.
“Berapa biasa kita’ setor tiap
hari?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Saya ingat, seorang juru parkir lain pernah
memberitahu kalau setiap hari Ia harus menyetor hasil jasa parkirnya sebesar
dua puluh ribu rupiah kepada PD parkir. Jadi setiap hari, ada petugas dari PD
parkir yang yang akan berkeliling dan mendatangi masing-masing areal parkir
untuk meminta setoran.
“Dua puluh ribu. Barusan pergi itu petugasnya” anak itu menjawab
pertanyaan saya dengan sabar.
“Ndak papaji kutanya-tanya toh?” saya sebenarnya sudah naik diatas
motor, tetapi belum juga memutar kuncinya. Saya masih ingin mengajukan banyak
pertanyaan. Penasaran
dengan anak yang satu ini. Ditambah lagi ia mengaku bersekolah dan menjalani
profesi sebagai juru parkir setelah pulang dari menuntut ilmu.
“Iye, kak. Kugantiji kakak ku,
dia yang urus” Ia masih menjawab saat kutanya perihal cara menjadi tukang
parkir dan mendapat lisensi sebagai juru parkir. “Yang begituan naurus di PD Parkir, Kak, di Jalan Hati Mulya”.
“Tapi disini ndak adaji preman toh?
Yang biasa minta setoran selain pemerintah?” saya teringat dengan salah satu
tukang parkir bank tidak jauh dari tempat saya bekerja. Saat itu saya penasaran dengan
kartu parkir yang ia kalungkan di leher. Katanya itu tanda kalau dia tukang
parkir resmi. Tidak sama dengan temannya yang satu, sambil melirik ke salah satu
tukang parkir yang sedang merokok tidak jauh dari tempatnya. Katanya ia adalah preman yang tiba-tiba
muncul mengancamnya untuk berbagi lahan parkir. Tidak mau nyawanya melayang,
lahan parkirnya ia bagi dengan preman.
“Tidak adaji kalau di sini, Kak” anak itu masih setia menjawab pertanyaan saya. sementara itu mesin
motor sudah saya nyalakan, dan kewajiban membayar parkir sudah saya jalankan.
“Belajar yang rajin ya” saya beralu dengan mentipkan kata-kata mutiara.
Sungguh, saya senang sekali malam ini, karena sudah membayar jasa parkir dengan
ikhlas dan memeperoleh pelajaran berharga tentang kerja keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar