Perjalanan ini bisa disebut perjalanan
ter-ekstrim yang pernah saya lalui seumur hidup. Mobil yang saya tumpangi
bersama beberapa teman hampir saja melompat ke jurang di sebelah kiri jalan
jika saja sang sopir tidak sigap mengendalikan mobil terios putih yang sudah
berubah jadi abu-abu terkena debu. Saya hanya bisa terus merapal doa dalam
hati. Kalaupun kami mati dalam perjalanan ini, paling tidak kami mati saat
sedang mengantarkan seragam untuk sobat kecil di pedalaman Barru.
“dimana kah
sebenarnya desa yang mau kita datangi ?” driver yang membawa kami sudah
beberapa kali melontarkan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang saya pun tidak tahu jawabannya. yang s aya tahu,
desa itu berada di kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru. Untuk menuju
kesana, sudah ada teman yang menunggu
kami di Kota Barru yang nantinya akan mengantarkan sampai ke lokasi penyaluran seragam.
Estimasi perjalanan kami ternyata salah.
Berangkat pukul 15.00 dari kota Makassar membuat kami sampai di kota Barru saat
adzan Maghrib sudah berkumandang. Setelah mampir shalat, mobil kembali melaju
menembus jalanan Barru yang berkelok-kelok.
Karena gelap, praktis kami tidak bisa menikmati
pemandangan di sepanjang jalan. Penerangan hanya berasal dari 3 mobil rombongan
kami. Selebihnya berasal dari rumah
warga yang berjejer di kiri kanan jalan. Semakin jauh melalui jalan berkelok kiri
kanan jalan sudah berubah menjadi hutan belukar.
Beberapa kali saya mencoba memejamkan mata,
tapi gagal. Sopir yang tadi tidak berhenti melontarkan pertanyaan kepada kami
sekarang sudah diam bak kehabisan batrei. Mungkin ia lelah. Hanya Cita Citata
yang masih semangat melantuntankan lagu-lagunya lewat pemutar dvd yang ada di
mobil.
Setelah melalui perjalanan yang panjang dan
seru rombongan kami sampai juga di desa Pattallassang, kecamatan Pujananting,
Kabupaten Barru. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Kami disambut oleh
beberapa warga dengan jabat tangan yang sangat erat sertad isuguhi berbagai
macam makanan. Katanya mereka sudah menunggu kedatangan rombongan kami sejak
sore.
Keesokan harinya setelah shalat subuh yang
sedikit telat, saya keluar dari rumah panggung tempat kami istirahat. SD Inpres Pattalassang berdiri hanya beberapa meter dari rumah. Kami memilih berkeliling
sekolah serta menghirup udara segar khas pedesaan di pagi hari.
Baru beberapa menit berkeliling sekolah, sudah
muncul satu dua anak SD dengan seragam olahraga dan alas kaki sandal. Wajah mereka
terlihat segar. Dari informasi yang saya dapatkan dari pihak sekolah, beberapa
diantara mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk sampai di sekolah.
Itu sebabnya mereka harus berangkat pagi-pagi buta jika tak ingin terlambat.
Karena penasaran, saya berusaha mendekati anak
perempuan yang berdiri dekat tiang bendera. Ia tampak malu-malu dan sesekali
melirik ke arah kami. Beberapa beberapa pertanyaan saya ajukan tapi ia tidak
bergeming. Hanya menunduk kemudian memainkan daun-daun bunga yang ada di
hadapannya. Baiklah, saya tidak akan
memaksa.
Setelah perkenalan yang gagal itu, saya memutuskan kembali ke rumah tempat
kami menginap. Bersama beberapa teman menyiapkan perlengkapan yang akan
digunakan serta memastikan seragam sudah dipacking
dengan rapi.
Setelah semua siswa berkumpul, kami
memperkanalkan diri dan membawakan games kepada adik-adik. Senang sekali
melihat wajah ceria mereka. setelah bermain games dan ice breaking, tanpa
disangka driver yang membawa kami juga ikut memperkenalkan diri dan
menceritakan sebuah dongeng. Saya surprise karena ia terlihat sangat mantap bercerita
tentang monyet dalam bahasa daerah. Sebagai informasi, anak-anak menggunakan
bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. meskipun demikian, mereka tetap
bisa mengerti bahasa Indonesia sederhana.
Kegiatan sudah selesai, seragam sudah
dibagikan, saatnya kami kembali ke Makassar. “Terima kasih kak, sudah diijinkan
ikut kegiatan ini. Kalau ada kegiatan lain ajak-ajak ya” Ismi, gadis manis yang
ikut dalam rombongan kami berkomentar. Saya hanya tersenyum dan berterima kasih
kembali kepada adik-adik hebat SD Pattallassang. Mereka berada jauh di puncak
gunung. Jauh dari akses listrik tetapi bisa melihat lampu kerlap kerlip Kota
Pangkep dan Barru di malam hari. Semoga
puluhan kilometer jalan kaki mereka terbalas dengan impian yang dikabulkan. Aaamiin.
mereka adalah masa depan Indonesia |
Relawan menyiapkan seragam yang akan dibagikan |
Ibu guru mengatur barisan |
Anak yang bangun terlalu pagi (mungkin) :D |
Berisap-siap untuk games |
Berbeda itu tidak penting |