Jumat, 26 Juni 2015

Meraup Pahala Ramadhan Berlimpah

Setiap kali ramadhan, setiap itu pula kita lebih sering mendengar kata ngabuburit. Kata ini berasal dari bahasa sunda  yang arti luasnya yaitu menghabiskan sore hari sambil menunggu waktu berbuka puasa. 

Berkumpul bersama keluarga, menyiapkan menu berbuka puasa, atau berkumpul bersama teman adalah aktifitas ngabuburit yang lazim ditemui saat ramadhan. Ada juga yang menunggu waktu berbuka puasa dengan menjelajahi masjid-masjid sekitar. Membandingkan menu takjil satu masjid dengan masjid yang lainnya. 

Kegiatan amal selama bulan ramadhan juga meningkat pesat. Panti asuhan penuh dengan santunan makanan, masjid penuh dengan uang celengan tarawih. Kaum dhuafa berbahagia karena tak perlu pusing dengan menu makan malam. Tidak perlu khawatir perut akan keroncongan. 30 hari ramadhan adalah berkah bagi mereka.

Saat membuka media sosial, dengan gampang ditemui kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh pribadi, komunitas maupun lembaga. Mereka berlomba mencari panti asuhan atau lingkungan kumuh untuk dijadikan tempat melaksanakan event ramadhan. Berikut kegiatan yang bisa jadi inspirasi untuk menghabiskan waktu sebelum berbuka sekaligus berbagi keceriaan dengan sesama.

1.      Berbuka puasa bersama masyarakat lingkungan tertinggal
kegiatan komunitas Penyala Makassar di TK TPA daerah tertinggal 

Karena melibatkan banyak orang, kegiatan seperti ini membutuhkan biaya dan tenaga yang lumayan banyak. Keberadaan panitia yang solid dan ikhlas menjadi kunci utama kelancaran kegiatan. Butuh waktu untuk mendata warga dan memastikan jumlah sumbangna atau takjil terbagi rata. Pembiayaan bisa dilakukan melalui sumbangan perorangan atupun mencari sponsor.

2.      Berbuka bersama anak panti asuhan
salah satu kegiatan komunitas di Makassar



Setiap kali bulan ramdhan datang, panti asuhan selalu menjadi target kegiatan sosial. Selain memberikan buka puasa, ada banyak alternatif kegiatan yang bisa dilakukan dengan anak-anak panti asuhan. Melaksanakan berbagai lomba misalnya menghapal surat pendek, lomba azan, lomba mewarnai, cerdas cermat dan masih banyak lagi alternatif lomba yang bisa menambah motifasi mereka.

3.      Berbagi Takjil Ramadhan
Aktifitas perkotaan yang tidak pernah berhenti membuat banyak warga kota yang harus berbuka puasa di perjalanan sembari menembus kemacetan. hal ini bisa dimanfaatkan untuk berbagi buka puasa untuk mereka. Menyiapkan es buah, kurma atau air putih untuk warga yang berbuka di perjalanan adalah salah satu cara meraup pahala berlimpah selama ramdhan.

4.      Berburu Takjil
Postingan teman tentang menu takjil Masjid yang ia datangi

Saya dibuat takjub oleh tingkah salah seorang kawan di media sosial. Ia melakukan perjalanan dari satu masjid ke masjid lainnya untuk mencicipi menu takjil yang tersedia. Setiap hari, ia akan memposting nama masjid tempat ia berbuka puasa disertai foto takjilnya. Mau coba hal serupa?

5.      Berbuka puasa bersama teman
Buka puasa bersama teman atau staff

Kegiatan ini banyak dilakukan saat bulan puasa. Ada yang sampai kebingungan memenuhi undangan buka puasa yang menumpuk. Undangan teman SMA, teman kuliah, teman kantor dan teman-teman yang lainnya.

Bulan ramdhan menjadi momen yang tepat untuk meraup pahala sebanyak-banyaknya sesuai apa yang telah dijanjikan dalam kitab suci. Jika di hari biasa pahala bersedekah hanya satu, maka di bulan ramdhan pahala dilipatgandakan. Bukan hanya sedekah. Puasa, shalat, membaca kitab suci Al Qur’an, dan semua kebaikan selama bulan ini pahalanya dilipat gandakan.

Tidak mau ketinggalan, banyak yang merlomba-lomba mengejar pundi-pundi pahala  di bulan ini. Ada yang memperbanyak pahala pribadi, ada yang semakin royal membantu sesama dengan terus bersosialisasi. Bagaiaman kamu menghabiskan waktu berbuka puasamu? Apapun itu, semoga semuanya berbuah pahala. Happy fasting :D 



ngaBLOGburit 2015

Minggu, 21 Juni 2015

Rindu Menunggu

Telpon dari ibu sejenak membuatku tertegun, hampir mengeluarkan air mata. Ia menasehatiku untuk lebih bersabar. Menjalani kehidupan dengan ikhlas. Katanya, akan ada masa saya akan berpisah dengan mereka. Jadi tidak usah terlalu diambil hati. Mereka adalah ujian kesabaran untuk saya. Mereka anak-anak dari ibu.

Semuanya berawal dari kejadian beberapa hari lalu. Adik perempuanku yang masih kuliah meminta untuk dijemput di kampusnya. Dengan bergegas, rapat salah satu kegiatan saya tinggalkan. Sesampai disamping kampus, Ia tak ada ditempat seharusnya ia berada. Handphonenya tak diangkat. Pesan singkat yang kukirim tak dibalas. Lagi dan lagi saya mencoba mnenghubungi, tapi sayang hanya operator yang menjawab. Saya mulai gelisah, suara nyamuk yang sedari tadi menemaniku bersahutan dengan suara azan maghrib.

Tak lagi menghitung menit, saya menekukkan kepala. Berharap adikku tiba-tiba muncul. Tidak lama ia menelpon balik, menjelaskan kalau hapenya tertinggal dan ia baru saja selesai shalat. Alasannya tidak kuterima. Ini bukan kali pertama ia memperlakukanku seperti itu. Membuat menunggu. Semua kejadian menunggunya tiba-tiba muncul. Terbayang saat malam dan hujan saya harus menunggunya di depan kampus sendirian. Berteduh di depan lapak penjual pulsa yang hampir tutup. Saat itu saya menunggu hampir dua jam dan ia muncul tanpa rasa bersalah.

Ia naik diatas boncengan motorku dalam diam. Ia pasti tahu saya marah besar. Motor yang kukendarai melaju dengan kencang. Mengejar waktu shalat maghrib yang hampir hampir mendekati isya. Tidak berhenti saya menggerutu dalam hati. Entah mengapa akhir-akhir ini saya gampang sekali tersulut amarah, terutama saat berhadapan dengan anak yang satu ini.


Sebulan lebih di Jakarta membuat rindu akan rumah menyeruak seenaknya. Yang paling aneh adalah saya rindu menunggui adik pulang dari kampus. Mencari-cari tulisan ini yang sebelumnya hanya saya save di folder blog. 

Rumah Tangga

Baru baru ini saya bertemu dengan kawan baru. Dia seorang gadis cantik dan manis. percakapan hari itu bukan hanya saya yang jadi pendengar. Ada beberapa teman lain yang ikut menemani percakapan singkat kami. Dia mulai bercerita tentang keluarga kecilnya. Saya sedikit terkejut mengetahui ia sudah berkeluarga. Wajahnya yang masih tampak sangat muda sama sekali tak menandakan ia adalah seorang ibu dua anak. Ah, saya masih suka menilai dari tampilan luar.

Dia mempunyai dua anak perempuan kembar yang baru berumur 5 tahun. Saya bisa membayangkan betapa imut dan lucunya mereka. Suaminya selingkuh dan menikah dengan perempuan lain. ‘perempuan lain’ itu hamil dan kawan baruku itu menggugat cerai suaminya.

Saya terdiam mendengar cerita tersebut.  Ini benar kan? Ini bukan sinetron kan? Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku. Untuk perempuan single yang baru saja sarjana, cerita tersebut terdengar begitu menakutkan di telinga saya. Sebegitu tragiskah kehidupan rumah tangga?


Semoga saja saya dan siapapun yang membaca tulisan ini akan menemui kehidupan rumah tangga yang indah dan dipertemukan dengan jodoh yang terbaik. Semoga. 

*Tulisan beberapa bulan lalu setelah sarjana. Tetiba ingin diposting ^_^ 

Catatan Perjalanan ke Suku Baduy Dalam (Part 2)

Pada tulisan sebelumnya saya sudah menceritakan separuhperjalanan saya ke suku Baduy Dalam serta bagaimana cara ke suku Baduy Dalam. Dalam tulisan ini saya akan melanjutkan ‘curhatan’ tentang perjalanan ke suku yang menyebut diri mereka orang kanekes ini.
Lagi-lagi berfoto sebelum kembali ke Jakarta
Sampai di tempat yang dituju setelah berjam-jam perjalanan seperti menemukan oase di padang pasir, rasanya sangat senang dan lega . Semoga perumpamaan ini tidak terlalu lebay, karena perasaan lega yang sama saya rasakan saat menginjakkan kaki di perkampungan suku baduy  dalam. Setelah perjalanan melalui tanjakan dan turunan yang tak terhitung serta harus menembus hujan, wajar rasanya saya ingin berteriak keras-keras begitu duduk di teras rumah warga baduy ala pendaki Mahameru gitu.  Untungnya saya masih ingat kalau sedang berada di kampung orang dan harus menjaga sikap (hehhe). 

Belum juga kami masuk ke salah satu rumah warga untuk istirahat,  penjual-penjual buah tangan khas Baduy sudah langsung menghadang  kami dengan  berbagai macam barang untuk dibeli. Mana suku Baduy yang anti modernisasi itu ? Saya sedikit takjub. Penjual-penjual ini ada yang berpakaian Baduy, ada juga yang mengenakan kaos oblong. Belakangan saya tahu kalau pedagang yang berkaos oblong adalah orang  luar yang datang menjajakan dagangan mereka di kawasan suku Baduy Dalam setelah sebelumnya  membayar sejumlah uang ke Jaro (tetua adat). Semacam uang pajak dagang mungkin.

Sebelumnya, ketika memasuki area kampung , sudah ada penjual makanan dan minuman yang menjajakan dagangan mereka di depan rumah-rumah warga.  Bukan makanan atau minuman tradisional ya, tapi makanan dan minuman yang ber ‘merk’ dan banyak diiklankan d tivi. What a surprise!

Suku Baduy ternyata sudah mulai terbuka dengan dunia luar. Dalam ilmu antropologi, warga suku Baduy Dalam sedang mengalami proses akulturasi. Menurut Koentjaraningrat, bapak antropologi Indonesia, akulturasi merupakan proses sosial yang timbul jika sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Akibatnya, unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan asli. Proses ini berlangsung lama karena diterima secara selektif oleh anggota dalam kebudayaan tersebut, seperti yang terjadi di Baduy Dalam. 
anak-anak suku baduy

Selain soal penjual tadi, Buku IPS masa sekolahku ternyata tidak salah, Baduy Dalam memang belum tersentuh listrik. Sumber penerangan hanya obor, lampu charger serta senter yang kami bawa. Kalau masih hidup, mungkin Thomas Alfa Edison akan bersedih melihat masih ada sekelompok orang yang tidak mengggunakan listrik. Bukan karena tidak mendapatakan akses, tapi mereka memang tak mau ada listrik di Suku Baduy Dalam.  Katanya, menggunakan listrik melanggar adat.

Kekukuhan masyarakat Baduy Dalam dalam memegang adat bukan tanpa alasan. Mereka percaya, dengan turun temurun menjaga warisan nenek moyang dan menjaga alam, maka alam juga yang akan menjaga mereka.  Aih, mungkin pejabat-pejabat di kota sana harus studi banding ke kampung ini, bukan ke luar negeri.  Belajar tentang bagimana menghargai dan mencintai alam. Biar tidak ada lagi pembalakan liar perusahaan tertentu yang ijinnya dengan mulus disetujui oleh mereka.

Karena tidak boleh mengambil gambar, tak ada satupun foto kami di  Baduy Dalam. Sudah menjadi aturan tidak boleh berfoto di area suku Baduy Dalam. Tidak hanya itu, pengunjung atau orang luar yang masuk ke suku Baduy Dalam juga tidak diperkenankan menggunakan detergent, sabun atau pasta gigi di sungai. Wah, hidup seperti ini akan sangat menghemat belanjaan. Tapi kalau di kota, saya tidak sarankan melakukan hal serupa.

Kalau dilihat dari model rumah suku Baduy Dalam, tidak jauh dari model rumah suku Baduy Luar. Mungkin bedanya terletak pada penggunaan alat pembuatannya. Baduy dalam tidak menggunakan paku, sedangkan Baduy luar sebaliknya. Bagian dalam rumah suku baduy dalam sangat sederhana. Ada ruangan lapang seperti ruang tamu,  dengan satu kamar bersekat serta dapur. Saya tak melihat ada jendela.

Keberadaan kami di suku baduy dalam hanya beberapa jam saja. Boleh dikatakan, kami hanya menumpang tidur, makan dan buang air. Waktu yang terbatas serta medan perjalanan yang masih jauh membuat kami harus meninggalkan Suku Baduy Dalam secepatnya.

Keesokan harinya, tepat jam 8 rombongan kami meninggalkan perkampungan suku Baduy Dalam setelah sebelumnya pamit pada tuan rumah yang begitu ramah. Kami melalui jalur yang berbeda kali ini. Dengan rute tanjakan dan turunan yang hampir sama dengan jalur kedatangan kami. Bedanya, beberapa kilometer sebelum perkampungan terakhir, jalanan sudah berubah menjadi bebatuan bercampur tanah yang bisa dilalui motor dan mobil.

Di perjalanan pulang, kami melalui beberpaa jembatan. Salah satunya jembatan akar yang terletak di kampung Batara. Jembatan akar ini panjangnya sekitar 15 meter (saya agak buruk dalam memperkirakan jarak +_+) yang terbentang diatas sungai Ciujung. Jembatan ini terbuat dari akar yang kokoh serta bambu sebagai tempat berpijak. Sayangnya ada banyak tulisan di jembatan akar yang sungguh merusak mata. semoga tidak ada lagi yang melakukan hal serupa.
jembatan akar yang terbentang kokoh






Setelah jembatan akar, jembatan-jembatan selanjutnya tergolong modern karena sudah tidak menggunakan akar atau bambu lagi. Di dekat jembatan-jembatan yang ‘modern’ ini terdapat tugu berukir PNPM mandiri pedesaan, progam pemerintah yang  memberdayakan masyarakat pedesaan. Program ini berhenti di akhir tahun 2014.

Rombongan kami yang terdiri dari mayoritas kaum hawa mempunyai karakter yang berbeda-beda. Ada yang ramah, cool, pendiam, dan ribut. Tentunya terlalu dini jika menilai orang hanya dari pertemuan satu hari, tapi bagi saya itu cukup untuk sekedar memberikan gambaran sederhanana tentang karakter dan watak mereka. Sebut saja Eneng, perempuan berparas manis yang sukses jadi bulan-bulanan anggota trip. Sifatnya yang periang dan doyan foto membuatnya bisa dekat dengan siapa saja. Ia bisa menjadi penghibur disela lelah perjalanan yang menjadi-jadi.

Over all, perjalanan kali ini menyisakan banyak kenangan. Saya menemukan banyak teman-teman baru yang tak terlupakan. Perempuan-perempuan berotot besi bertulang baja yang mampu menembus jalan yang kadang terjal dengan ngos-ngosan, tapi secara ajaib bisa kembali bersemangat dan memasang senyum sumringah saat melihat kamera.

Tidak lupa juga dengan Mas-Mas super keren yang jumlahnya hanya segelintir saja. Termasuk akang-akang Baduy yang menjadi guide kami. Eh, tapi jangan salah, mereka yang ‘segelintir’ ini yang menjaga kami (kaum hawa) dan memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang. Yang dengan sabar mengikuti ritme berjalan kami yang terkadang melambat karena lelah. Yang bersedia membawakan tas kami masih dengan senyum.
teman baru, saudara baru
Semoga kita bisa dipertemukan dengan perjalanan-perjalan seru lainnya, dan bisa terus bersyukur bahwa kita dilahirkan di bumi Indonesia.

PS: Kami ketinggalan kereta  jadi harus naik angkot menuju stasiun maja dan nyambung naik commuter line. Sebenarnya mobil elep yang kami kendarai dari desa terakhir harusnya bisa mengantarkan kami sampai stasiun maja, tapi karena Remnya sedang tidak bersahabat sehingga sang sopir tak berani mengantarkan kami lebih jauh. Terima kasih bapak-bapak sopir yang tidak sempat saya tanyakan namanya :D

Rabu, 10 Juni 2015

Bagaiamana Cara ke Suku Baduy Dalam ?

If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together
Kutipan diatas adalah kutipan dari African proverb yang sangat terkenal. Hal yang sama saya rasakan saat melakukan traveling ke Suku Baduy dalam di kabupaten Lebak, Banten. Pengalaman pribadi sudah saya tuliskan di catatan perjalanan kesuku Baduy dalam. Tapi karena tulisan tersebut banyak curhatannya, kali ini saya akan menuliskan bagaimana cara ke Suku Baduy dalam serta persiapan apa saja yang dibutuhkan jika ingin kesana.
Anak-anak Suku Baduy Dalam
Foto : Mas Agit

Jangan berpikir karena tujuan perjalan adalah kampung jadi tidak menyiapkan perlengkapan yang lengkap ya. Kamu akan bernasib naas seperti saya, kehujanan. Oleh karena itu sangat disarankan untuk mempersiapkan semua perlengkapan sebelum berangkat ke Baduy Dalam yaitu
  • Carrier atau Ransel yang nyaman.  Dengan begitu kamu akan terhindar dari sakit punggung karena terlalu lama membawa beban yang berat
  • Mantel Hujan. Gunakan mantel hujan yang terbuat dari plastik. Harganya murah dan praktis karena tidak berat dan bisa dijejalkan diantara barang-barang yang lain
  • Sleeping Bag. Udara di Suku Baduy dalam tidak terlalu dingin. Tapi ketika memasuki pukul 03.00 dini hari, dijamin tidurmu tidak akan nyenyak karena kedinginan jika tak membawa sleeping bag.
  • Sarung. Penting untuk membawa sarung karena fasilitas buang air di Baduy adalah sungai dengan alam terbuka. Gunakan sarung untuk menutup muka kamu biar gak ketahuan saat buang air (hehehe)
  • Makanan. Suku Baduy Dalam sangat suka dengan ikan asin. Jadi tidak ada salahnya membawa ikan asin untuk dikonsumsi saat tiba di Baduy Dalam dan untuk diberikan kepada tuan rumah karena sudah mengijinkan kalian tinggal di rumah mereka. Beras dan mi instan jangan lupa ya.

For your information, perjalanan ke Suku Baduy Dalam bisa memakan waktu sampai 5 jam. Rute yang dilalui tidak terlalu susah tapi butuh tenaga extra untuk bisa tetap kuat sampaii tujuan. Ada banyak tanjakan dan turunan yang lumayan terjal. Jadi silahkan perkirakan, alas kaki jenis apa yang akan kamu gunakan J

Untuk biaya perjalan ke Suku Baduy Dalam saya membayar 185 ribu karena mengikuti open trip dan sudah ada panitia yang mengatur  transportasi dan sebagainya. Tapi jika ingin melakukan perjalan ke sana berikut saya tuliskan rinciannya tidak termasuk konsumsi:
  • Dari stasiun tanah abang,  berangkat menggunakan Kereta Rangkas Jaya tujuan akhir Rangkas Bitung dengan harga tiket Rp. 15.000
  • Dari stasiun Rangkas Bitung, kamu bisa menyewa satu mobil ‘elep’ sampai ke Ciboleger dengan harga sewa Rp 800.0000
  • Jika kamu tidak melakukan perjalan rombongan seperti yang saya lakukan, maka dari stasiun Rangkasbitung, kamu harus naik Angkot berwarna merah menuju terminal mandala kemudian naik angkot lagi sampai terminal Aweh. Dari terminal Aweh naik angkot ke terminal Lewidama. Nanti di terminal inilah kamu akan menemukan mobil ‘elep’ sejenis mini bus yang akan mengantarkan kamu sampai ciboleger. Dari informasi yang saya dapatkan dari sopir, biaya sampai di ciboleger dari stasiun Rangkasbitung sekitar 30an ribu.

Ketika sampai di ciboleger, kamu akan dengan mudah menemukan porter yang siap membawakan barang bawaan kamu sampai tujuan dengan biaya seikhlasnya. jangan  lupa, sebelum memulai perjalanan, kamu harus melapor dulu ke kepala desa Baduy. Akan dipungut biaya kebersihan sejumlah Rp 50.000 rupiah  yang akan diberikan kepada jaro atau ketua adat suku Baduy Dalam.
Oleh-oleh dari Baduy Dalam

Ada banyak pilihan oleh-oleh yang bisa kamu bawa dari Suku Baduy Dalam. Ada baju kaos Baduy, baju khas Baduy, sarung tenun, syal, gantungan kunci, madu, gelang, kalung, dan tas dari akar.
Harganya beragam. Gantungan kunci khas baduy semuanya seharga Rp 5000. Baju kaos baduy harganya Rp 35.000.

Do's and Don'ts selama di Baduy Dalam
  • DO. Bersikap sopan dan menghargai budaya masyarakat asli suku baduy Dalam. 
  • DO. Mengikuti aturan yang sudah disebutkan oleh warga

 Don’t
  • Membuang sampah sembarangan selama parjalanan maupun saat sampai di kampung Baduy Dalam. Siapkan kantong plastik untuk membawa sampahmu.
  • Memotret di kawasan Baduy Dalam
  • Memakai sabun, detergent atau pasta gigi di sungai
  • Menulis atau meninggalkan jejak tulisan di batu, pohon, akar atau apapun itu. Tindakan ini merupakan bagian dari merusak alam dan vandalisme



semoga infonya bermanfaat :D

Catatan Perjalanan ke Suku Baduy Dalam (part 1)

Sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan melakukan trip ke suku Baduy di Banten. Ingin sekali saya tuliskan kalau semua ini terjadi karena kebetulan. Kebetulan saya  di Jakarta, kebetulan buka facebook dan menemukan postingan open trip, kebetulan punya teman komunitas di Makassar yang ternyata berteman dengan penyelenggara trip, kebetulan lagi punya duit, kebetulan sudah lama tak melakukan perjalan jauh. Tiba-tiba terngiang perkataan salah seorang teman “tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah di gariskan oleh Tuhan”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya tahu tentang suku baduy pertama kali dari buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SMP dan SMA. Tidak banyak yang tersimpan di memori tentang mereka, hanya segelumit saja. Mereka katanya tak tersentuh dunia luar, memilih kehidupan bersahaja tanpa tergerus arus modernisasi. Tak memakai sabun, detergent, dan pasta gigi. Haram  listrik serta pendidikan formal. Saat melihat postingan open trip ke suku Baduy Dalam grup Sigi (Sahabat Indonesia Berbagi) di facebook, tanpa pikir panjang saya mengajukan diri untuk mendaftar. Saya menjadi begitu antusias untuk  melihat mereka secara langsung dan membuktikan kebenaran dari buku pelajaran IPS itu.

Perjalanan di mulai dari Stasiun Tanah Abang dengan dengan kereta api Rangkas Jaya tujuan akhir stasiun Rangkas Bitung. Hampir ketinggalan kereta, sedikit tergopoh-gopoh saya keluar dari commuter line dan mencari teman-teman yang lainnya. Orang yang pertama kali saya temui adalah Mas Endang, lelaki ramah berkaca mata yang merupakan anggota Sigi dan ketua untuk trip kali ini. Ia menunggu di jalur 6, stasiun tanah abang. Benar saja, baru duduk beberapa menit di bangku, kereta sudah melaju. Hampir saja saya ketinggalan kereta.

Mbak Eka, Mbak Alika, Mbak Afika dan Mas yang saya lupa namanya. Mereka adalah anggota trip yang duduk di bangku samping dan depan saya saya saat di kereta. Dari hasil ke-kepoan, saya tahu kalau mbak Eka adalah pekerja di salah satu perusahaan kontraktor  dan Alika adalah fotografer majalah. Mas Endang duduk di sebelah kiri saya. Dari ceritanya saya tahu kalau dia sudah pernah ke Makassar. Tak heran kalau sedang berbicara dengan saya, sesekali ia menggunakan aksen dan bahasa makassar, tapi tetap saja kedengaran aneh di telinga ‘Makassar’ saya (hehehe)

Perjalanan dari stasiun Tanah abang ke Stasiun Rangkas Bitung memakan waktu sekitar 1,5 jam. Waktu yang cukup lama. Saya mencoba menutup mata tapi tetap tak bisatertidur. Sesekali berseliweran pedagang yang menjual aneka makanan dan minuman. mereka berpakaian rapi, ada juga yang berdasi. “yang menjual itu petugas stasiun kereta, sekarang pedagang asongan tidak boleh lagi berjualan di dalam gerbong” Mbak Eka menjelaskan. Saya manggut-manggut, memuji kebersihan dan manajemen kerta yang bagus. Berharap Makassar atau sulawesi selatan bisa punya kereta juga.

Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami harus menunggu lagi sekitar setengah jam. Ternyata ada anggota trip yang tertinggal dan menyusul dengan kereta lain. Sambil menunggu, saya berbincang dengan Mas Mas bercelana batik bernama Agit. Dia anggota trip juga. bekerja sebagai kontributor di TV Asahi Jepang. Dengan aksen jawa yang terdengar jelas saat berbicara, saya sudah bisa pastikan kalau dia bukan orang Makassar (+_+). Mas Agit bercerita kalau dia pernah berkunjung ke Makassar dan mencoba kuliner khas coto makassar. Ia juga mengunjungi  Bantimurung, salah satu objek wisata yang terletak di kabupaten Maros, tidak jauh dari kota Makassar.
Rombongan Sigi Indonesia Adventure (Sign In) Berfoto di Stasiun Rangkasbitung
Foto : Mba Rebeca

Setelah agak lama menunggu, teman-teman yang ditunggu akhirnya datang juga. mereka adalah K’Kiki dan mbak Ipah. Ternyata K’Kiki adalah orang Makassar ji juga. Senang bisa bertemu teman dari daerah yang sama. Belakangan saya tahu kalau K’Kiki hijrah ke jakarta beberapa tahun lalu dan bekerja di Alfa, salah satu perusahaan waralaba swalayan terbesar di Indonesia.
Perjalan selanjutnya dilanjutkan dengan menyewa mobil Elf. Orang-orang menyebutnya mobil ‘Elep’. Rombongan kami yang berjumlah sekitar 24 orang dibagi dua karena satu mobil Elep hanya bisa memuat 13-14 orang penumpang.  

Mobil Elep yang kami tumpangi berwarna kuning cerah. Akang sopirnya memacu Elep dengan sangat kencang. Saya yang duduk di kursi paling belakang sesekali harus menahan nafas saat Elep berpapasan dengan kendaran lain di tikungan dan Pak sopirnya sama sekali tidak menurunkan kecepatan. Ditambah lagi, Jalan yang kamui lalui tidak bisa disebut mulus. Banyak lobang disepanjang ruas jalan. Sempat juga kami terjebak macet karena ada truk pengangkut pasir yang bannya kempes dengan sukses di tengah jalan sempit. Butuh hampir setengah jam untuk bisa lolos dari kemacetan tersebut.

Tepat jam 13.00 mobil yang kami kendarai tiba di Ciboleger yang merupakan gerbang masuk ke Baduy. Di tempat ini sudah terlihat banyak orang-orang berpakaian khas suku badui, mereka baju hitam dan putih, memakai ikat kepala, mengenakan tas dari kain atau akar serta tidak beralas kaki. Mereka duduk-duduk dan berbincang, ada juga yang berdiri dan memperhatikan wisatawan yang datang. Biasanya mereka menjadi guide atau porter untuk pendatang yang ingin ke Baduy.

Di tempat ini juga rombongan kami shalat dan makan siang. Tersedia Alfa mart, warung makan, serta berbagai penjual oleh-oleh khas suku baduy seperti gantungan kunci, tas dari akar, gelang, kalung, dan baju khas Baduy. Saran saya, sebaiknya belanja saat tiba di Baduy dalam saja. Karena berbelanja oleh-oleh sebelum memulai perjalanan  akan menjadi kurang praktis dan menambah beban bawaan anda.

Setelah rombongan shalat dan makan, kami melanjutkan perjalanan. Dimulai dengan mendaki anak tangga yang tidak saya hitung jumlahnya. Hanya beberapa menit mendaki kami tiba di gerbang bertuliskan ‘selamat datang di baduy’

Sepanjang perjalanan akan terlihat pemandangan khas pedesaan yang menawan. Ada sungai, jembatan dari bambu, pepohonan di sepanjang jalan, serta udara yang segar. Beberapa teman terlihat  berkali-kali berhenti untuk berfoto mengabadikan pemandangan yang jarang di temui ini.
Meniti Jembatan Bambu
Foto : Mba Rebeca

Berfoto Seperti ini Yang menghabiskan Banyak waktu di jalan =_=
foto : Mba Rebeca


Desa baduy terdiri dari dari baduy dalam dan baduy luar. Baduy dalam adalah masyarakat suku baduy yang masih berpegang teguh pada kepercayaan untuk tidak menggunakan peralatan modern dalam kehidupan sehari-hari. Ada tiga kampung di derah Baduy Dalam yaitu Cibeo, Ciketarwana dan Cigesik.  Sementara baduy luar adalah masyarakat baduy dalam yang ‘terusir’ atau keluar karena melanggar adat. Hal-hal melanggar adat seperti menggunakan paku untuk membangun rumah, menikah dengan orang baduy luar, atau memilih untuk keluar dari baduy dalam.

Kampung yang akan kami datangi adalah kampung Cibeo yang terletak di Baduy Dalam. Butuh perjalanan sekitar 5 jam untuk sampai ke kampung Cibeo. Kami harus melewati perjalanan naik turun bukit dan melalui sekitar 8 kampung yaitu Kaduketung, Cipondok, balimbing, Marengo, Gajebo, Cicakal, Cepakbungur, dan tembayang.

Semua anggota rombongan terlihat sangat ceria dan segar di awal perjalanan. Beberapa jam berikutnya satu persatu dari mereka terlihat mulai melangkah dengan gontai. Termasuk saya yang sudah bercucuran peluh dan menghabiskan beberapa botol air minum. Jalan yang saya pikir mulus ternyata penuh dengan tanjakan dan turunan yang lumayan menyita energi. Kalau mau membandingkan, perjalanan ke kampung Cibeo hampir sama dengan perjalanan ke  lembah Ramma’ di sulawesi selatan.
Ngobrol sambil menikmati pemandangan bisa mengalihkan dari rasa lelah karena perjalanan
Foto : Mba Rebeca

Istirahat Dibutuhkan Untuk memulihkan Kembali Tenaga Yang Terkuras

Pemandangan Dari Atas Bukit
Foto : Mba Rebeca


“kita sampai sekitar jam 8 malam” kata Kang erwin (semoga saya tidak salah ingat nama), orang Baduy Dalam yang menemani perjalanan kami. Saya sedikit shock. Perjalanan sudah terasa sangat jauh dan kami belum juga tiba di tujuan. Langit juga terlihat mendung. Dalam hati saya terus berdoa semoga tidak hujan.

Doa saya tidak terkabul, gerimis mulai turun berupa bintik-bintik air. Beberapa anggota rombongan terlihat berhenti untuk memakai mantel hujan. Saya sendiri tidak membawa mantel karena kurang persiapan. Jadinya, saya cuma bisa pasrah diguyur hujan sambil berharap nanti tidak sakit atau tiba-tiba pingsan di jalan karena kedinginan.

Hal yang saya syukuri saat hujan adalah kami sudah melalui tanjakan terjal berupa tanah liat yang bisa saya pastikan akan sangat licin dan berpotensi menelan korban terpeleset.  Tanjakan itu bernama tanjakan cinta. Sejarah nama tanjakan cinta tak begitu jelas. Yang pasti, tanjakan cinta itu benar-benar membuat kami jatuh cinta sampai ingin menangis rasanya. Saya, Alika dan Luluk tertawa menghibur diri saat melalui tanjakan cinta.

Gelap sudah mulai menyelimuti hutan yang kami lalui. Masing-masing sudah menyalakan senter dan headlamp untuk menerangi jalan yang gelap. Lagi-lagi saya tak membawa senter. Lengkap sudah perjalanan yang saya lalui, hujan tanpa mantel dan gelap tanpa senter. Beruntung saat gelap kami berjalan tak berjauhan. Menjaga satu sama lain. Mbak Rebeka, perempuan tinggi berambut lurus yang berjalan di depan saya harus terus menoleh setiap beberapa langkah. Menerangi jalan yang saya lalui serta memastikan tidak tersandung batu atau akar pohon.

Hujan semakin deras, saya berhenti mengambil napas dan memegangi kepala saya yang terasa agak berat. “pusing mbak?” suara laki-laki di belakang saya menegur. “enggak koq” saya lanjut melangkahkan kaki. “pusingnya jangan dirasain mbak” laki-laki itu melanjutkan. Saya tertawa kecil “maksudnya pusing jangan dirasain gimana?” saya terus melangkahkan kaki. Menerobos aliran air yang mengaliri jalan yang kami lalui. “Sakit itu datangnnya dari pikiran. Sama dengan pusing. Kalau tidak dipikirkan maka pusingnya tidak akan terasa”. Benar juga sih, sedari awal saya memang sudah meng-sugesti diri sendiri setiap kali mendaki dan merasa nafas dan kaki sudah tidak mampu melanjutkan perjalanan lagi. Tapi begitulah, sugesti saya kadang tak selalu berhasil.

Malam sudah semakin pekat, hujan pun sudah mulai reda. Kata akang baduy yang mengantarkan kami, kampung Cibeo sudah dekat. Tapi saya memilih tidak mempercayainya. Mengingat Akang itu sudah menyebutkan hal yang sama berkali-kali dan kami belum juga sampai di kampung Cibeok. Saya sedikit girang saat mencumpai Leuit, semacam rumah tempat menyimpan padi suku Baduy dalam. Logikanya, kalau sudah menemui Leuit, maka perkampungan sudah dekat. Karena mereka tidak mungkin menyimpan hasil tani terlalu jauh kan? Lagi-lagi perkiraan saya salah. Belum juga kami temui kampung   yang dimaksud meskipun sudah melalui beberapa Leuit.

Setelah meniti jembatan, perasaan lega saya meluap-luap saat melihat cahaya dan suara orang-orang. Akhirnya kami tiba di kampung Cibeok. Sedikit terkejut saya mendapati banyak penjual makanan dan minuman hangat saat memasuki kampung. Saya, luluk, mba rebeka dan Mas agit duduk di tangga depan salah satu rumah warga suku baduy. Sambil menikmati wafer dan teh hangat traktiran dari Mas Agit. Setelah itu kami berganti pakaian dan masuk ke dalam rumah suku Baduy untuk beristirahat. Baru beberapa menit duduk, sudah berdatangan penjual dari yang menawarkan gantungan kunci, kaos, baju khas Badui, serta madu. Suasana jadi riuh karena terjadi tawar menawar yang alot. Pembeli kalah karena hanya berhasil menawar dengan harga tipis .  Setelah berbelanja, kami makan malam dan tertidur dengan pulas tanpa gosok gigi. Tak apalah, Cuma untuk satu malam :D


Maaf kalau tulisan saya panjang. Hehehe, sebenarnya ada banyak momen yang masih ingin saya tuliskan. Jika ingin mengetahui tentang Persipan dan Biaya Perjalanan ke suku Baduy Dalam, klik di sini. Tunggu lanjutan dari cerita di atas ya ;)

Kamis, 04 Juni 2015

Cara Naik Kereta di Jakarta


Sudah hampir dua minggu saya di Jakarta dan tak pernah sekalipun mencoba transportasi publik. Bayang-bayangan kejahatan dan kriminalitas yang tinggi di Ibu kota membuat nyali saya ciut. Bagaimana kalau  dicopet? Bagaimana kalau dirampok? Bagaimana kalau saya dihipnotis? Pikiran-pikiran seperti itu membuat kamar kosan saya menjadi begitu sumpek.

Akhir minggu ke dua, saya memutuskan untuk mencoba Commuter Line (KRL)/ Kereta Jakarta. Tentu sebelumnya saya banyak bertanya pada teman di jakarta yang sudah terbiasa naik kereta. Mereka meyakinkan, naik kereta itu aman.
Hal pertama yang saya lakukan adalah browsing cara naik kereta. Informasi dari teman-teman belum cukup meyakinkan. Tidak lupa, peta jalur kereta saya download dan simpan dengan rapi di galeri hape.

Seperti halnya trans Jakarta, KRL Jakarta sudah tidak menggunakan tiket kertas atau uang cash. Mungkin ini salah satu upaya pemerintah dalam menciptakan less cash society dan transportasi yang lebih praktis. Sebagai gantinya, disediakan tiket kereta berbentuk kartu yang dibeli pada loket dan tersedia di semua stasiun kereta. Uang elektronik juga bisa digunakan untuk pembayaran tiket kereta.
Saat memasuki stasiun, kita akan menjumpai gerbang. Di gerbang inilah kartu tiket atau uang elektronik di screening atau di Tap yaitu meletakkan kartu di tempat yang tersedia, maka saldo uang elektronik anda akan otomatis dikurangi untuk pembayaran tiket. 

Hal utama dan paling utama saat melakukan perjalanan adalah mengetahui tujuan akhir anda. Pastikan dulu dimana tempat yang akan dituju dan sesuaikan dengan jalur kereta. Misalnya, saya mau ke Kota Tua Jakarta. Dari informasi yang saya dapatkan, kota tua jakarta bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari stasiun Kota. Artinya saya harus turun di stasiun kota. Nah, saya berangkat dari stasiun palmerah jadi harus transit di stasiun tanah abang, kemudian naik kereta lagi dan transit di manggarai. Dari stasiun manggarai lalu mengambil kereta jurusan stasiun Kota Jakarta. So, pahami dulu cara membaca peta dan pastikan kamu mengerti.

Ada kalanya kita harus menunggu kereta di stasiun. Sebelum naik kereta, lihat tulisan yang tertera di stasiun. Akan ada nomor jalur dan tujuan kerta. Tapi, jalur kereta bisa berubah sewaktu-waktu  loh. Jadi bertanyalah pada petugas stasiun kereta api. Mereka gampang sekali ditemui karena mengenakan seragam mirip tentara. Mereka berdiri hampir di setiap sudut stasiun.

Menggunakan transportasi publik artinya kamu siap berbagi dengan orang lain karena transportasi itu bukan milik kamu (ya iyalah +_+). Jumlah penumpang kereta bisa membeludak dipagi hari jam kerja atau sore hari, sepulang jam kerja. Jadi kamu harus siap berdesak-desakan, mencium segala aroma penumpang yang lain atau berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.

Perlu kamu tahu, gerbong kereta paling depan dan paling belakang adalah khusus untuk perempuan. Tandanya, gerbong  berwarna pink dan cerah bergambarkan perempuan. Karena gerbong ini khusus perempuan, kamu yang laki-laki akan diusir oleh petugas jika berani duduk di gerbong ini.
Beberapa kursi di gerbong kereta disebut kursi prioritas. Kursi ini khusus untuk orang-orang difable, orang tua, orang hamil atau orang yang membawa anak. Sebenarnya semua kursi di dalam transportasi umum adalah kursi prioritas. Saat kamu duduk dan melihat ada ibu hamil yang berdiri, ambillah inisiatif untuk mempersilahkannya duduk. Bayangkan kalau kamu adalah dia. *eh. Atau bayangkan kalau yang berdiri adalah ibu kamu. Dengan begitu, akan lebih mudah mengikhlaskan diri. Dengan belajar peka dan perhatian dengan lingkungan sekitar, yakinlah, Tuhan akan menurunkan berkahnya kepada kita.

Berada di transportasi publik dengan banyak petugas tidak serta merta menjauhkan kamu dari bahaya atau kejahatan orang lain. Bukan bermaksud menakut-nakuti ya, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap waspada. Caranya, jika membawa tas ransel, selalu letakkan ranselmu di depan. Selain itu, letakkan benda-benda berharga seperti dompet dan hape di kantong tas paling dalam. Jangan gegabah, kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!

Oh iya, di dalam kereta juga terpampang peta jalur kereta tepat diatas setiap pintu gerbong. Setiap akan memasuki stasiun tertentu, akan ada suara operator yang menyebutkan nama stasiun tersebut.
Setelah sampai di stasiun terakhir, segera cari toilet jika kamu ingin pipis, atau mushallah jika kamu ingin shalat. Tap kembali tiket atau uang elektronik yang kamu punya di gerbang keluar stasiun.


Terakhir, jangan pernah takut untuk naik transportasi umum. Banggalah telah menjadi salah seorang aktivis lingkungan. Karena naik transportasi umum artinya kamu tidak ikut menyumbang polusi gas rumah kaca. Selamat mencoba kereta, tetap waspada ya J

Andrea Hirat kembali Dengan ‘Ayah’


Jum’at, 29 Mei 2015, hati saya berbunga-bunga. Sebentar lagi saya akan bertemu Andrea Hirata, penulis favorit sejak SMA. Tepat hari ini, Andrea Hirata launching novel berjudul ‘Ayah’ setelah lama tak ada kabar tentang karyanya. Bersyukur, saya dapat info launching buku tersebut melalui twitter. Serta merta waktu dan lokasinya saya catat. Tak lupa jalur transportasi umum menuju gramedia Matraman, yang merupakan lokasi launching, saya catat juga  dengan rapi. Tentunya setelah browsing dan bertanya kesana kemari pada ‘om’ google.

Saat tiba di Gramedia Matraman, acara sudah dimulai. Estimasi waktu perjalanan yang saya rancang ternyata meleset. Kendaraan-kendaraan di jakarta sepertinya bersekongkol untuk menciptakan kemacetan. Beruntung, Andrea Hirata belum beranjak dari function room Gramedia Matraman saat saya tiba. Tak ada lagi kursi kosong, jadi saya harus maju dan duduk melantai di karpet depan panggung. Hal ini menguntungkan saya karena bisa mengambil gambar Andrea Hirata dari jarak dekat dengan kamera handphone.
Andre Hirata sedang Menjawab Pertanyaan Penonton

Kesan Bertemu Andrea Hirata : Humoris !


Humoris. Merupakan kesan yang saya tangkap saat melihat Andrea Hirata menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penggemarnya yang hadir. Ia mampu membuat saya terus mendengarkannya bercerita sampai akhir. Guyonan segar ala orang melayunya masih melekat kuat. Kalau biasa membaca karya-karya Andrea Hirata, anda akan tahu persis.

“Bermimpilah, jangan dahului nasibmu” Andrea Hirata mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Ia bercerita tentang ‘ketidakproduktifan’nya dalam dunia membuat novel karena disibukkan dengan proses penerjemahan novel Laskar Pelangi. Tak tanggung-tanggung, Laskar Pelangi diterjemahkan ke dalam 34 bahasa asing dan diterbitkan oleh penerbit-penerbit terkemuka.
Total novel yang sudah diterbitkan Andrea Hirata sebanyak 8 novel yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, maryama Karpov, Padang Bulan, Cinta Dalam Gelas,  Sebelas Patriot dan yang terakhir adalah novel Ayah.

Seperti novel-novel sebelumnya, novel ‘Ayah’ mampu membuat saya tertawa, menangis, tertawa lagi, menangis lagi. Mungkin efek ini bisa berbeda untuk setiap pembaca. Saya memang tipe sensitif dan gampang menangis. Saat menulis ini, saya sudah selesai membaca novel ‘Ayah’ dan merasa sangat puas dengan endingnya.

Anda adalah penulis yang hebat...” begitu kata salah seorang penggemar Andrea Hirata yang jauh-jauh datang dari luar negeri untuk menghadiri launching buku ‘Ayah’.  Saya lupa dia datang dari Brunai darussalam atau Singapore. Wanita itu mengenakan Jilbab dan bertanya dalam logat melayu yang kental.  “...Banyak penulis Indonesia yang hebat-hebat. Anda belum kenal saja” Andrea Hirata menjawab pertanyaan wanita itu dengan merendah. Sembari menyebutkan satu persatu nama penulis Indonesia yang jadi idolanya.
Andrea Hirata Menceritakan Pengalamannya Selama Mendapat Beasiswa


Karena tidak mengikuti keseluruhan rangkaian acara, tak banyak cerita tentang novel ‘Ayah’ yang saya tangkap, tapi saya  janji akan menuliskan resensinya. Saat mengesankan ketika menghadiri lunching novel ;Ayah’  adalah ketika Andrea Hirata menceritakan pengalamannya mendapatkan beasiswa studi sastra dan bersekolah di Universitas of Lowa, USA. Ia tak sendiri, ada banyak penulis ternama dari seluruh belahan dunia yang mendapatkan beasiswa serupa. Mereka ditempatkan dalam satu kelas dan Andrea Hirata adalah satu-satunya penulis yang karyanya belum pernah diterbitkan di New York. Sekedar informasi, novel-novel yang diterbitkan di New York mendapatkan prestige tersendiri di kalangan penulis. Salah satu mata kuliah Andrea Hirata saat itu adalah ‘Reading’ yang mengharuskan ia dan teman-teman sekelasnya membaca novel di  sebuah toko buku yang sudah ditentukan.

Tebak, ada berapa orang yang hadir saat reading novel Andrea Hirata? Tak ada. Ia terus menunggu. Tiba-tiba datang dua orang yang duduk kursi penonton. Mereka mengenakan seragam tukang bersih-bersih. Saat itu Andrea sadar kalau mereka dalah suruhan pemilik toko yang merasa tak enak hati karena kursi penonton yang masih kosong. Andrea terus membaca. Cuaca diluar sedang hujan deras. Tidak lama datang 2 pasang anak muda. Tebakannya, mereka datang karena sedang berteduh. Duduk di kursi penonton dan melakukan hal tak senonoh ala anak muda Amerika.

Andrea terus membaca. Sudah ada 6 penonton. Kemudian datang seorang perumpuan berusia baya, membawa payung dan duduk dengan tenang di kursi penonton. Ia sesekali mengangguk dan tersenyum mendengar  Andrea Hirata membacakan novelnya. Setelah selesai, Andrea merasa sangat lega. Ia didekati oleh wanita tua yang datang terakhir itu dan mengatakan “May I have the book?” Andrea memberikannya dengna senang hati. Permpuan itu berlalu dan memberikan kartu namanya. Ternyata ia dari Kathleen Anderson Literary Management. Yang pada akhirnya mau menerbitkan novel Laskar Pelangi versi bahasa Inggris.

“I told you, keep dreaming” Andrea Hirata mengakhiri ceritanya dengan tepuk tangan meriah dari para penonton.

Penggemar Berdesakan Meminta Tanda Tangan

Senang Bisa Foto Dengan Penulis Idola 


Launching buku Ayah diakhiri dengan sesi tanda tangan dan berfoto dengan Andrea Hirata. Saya dan penggemar Andrea yang lain akan terus menunggu karya-karya selanjutnya dari pria kelahiran belitong ini. Keep Writing Bang Andrea J