Sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan melakukan trip ke
suku Baduy di Banten. Ingin sekali saya tuliskan kalau semua ini terjadi karena
kebetulan. Kebetulan saya di Jakarta,
kebetulan buka facebook dan menemukan postingan open trip, kebetulan punya
teman komunitas di Makassar yang ternyata berteman dengan penyelenggara trip,
kebetulan lagi punya duit, kebetulan sudah lama tak melakukan perjalan jauh.
Tiba-tiba terngiang perkataan salah seorang teman “tak ada yang kebetulan di
dunia ini. Semuanya sudah di gariskan oleh Tuhan”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya tahu tentang suku baduy pertama kali dari buku
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SMP dan SMA. Tidak banyak yang tersimpan di
memori tentang mereka, hanya segelumit saja. Mereka katanya tak tersentuh dunia
luar, memilih kehidupan bersahaja tanpa tergerus arus modernisasi. Tak memakai
sabun, detergent, dan pasta gigi. Haram listrik serta pendidikan formal. Saat melihat
postingan open trip ke suku Baduy Dalam grup Sigi (Sahabat Indonesia Berbagi)
di facebook, tanpa pikir panjang saya mengajukan diri untuk mendaftar. Saya
menjadi begitu antusias untuk melihat
mereka secara langsung dan membuktikan kebenaran dari buku pelajaran IPS itu.
Perjalanan di mulai dari Stasiun Tanah Abang dengan dengan
kereta api Rangkas Jaya tujuan akhir stasiun Rangkas Bitung. Hampir ketinggalan
kereta, sedikit tergopoh-gopoh saya keluar dari commuter line dan mencari
teman-teman yang lainnya. Orang yang pertama kali saya temui adalah Mas Endang,
lelaki ramah berkaca mata yang merupakan anggota Sigi dan ketua untuk trip kali
ini. Ia menunggu di jalur 6, stasiun tanah abang. Benar saja, baru duduk
beberapa menit di bangku, kereta sudah melaju. Hampir saja saya ketinggalan
kereta.
Mbak Eka, Mbak Alika, Mbak Afika dan Mas yang saya lupa
namanya. Mereka adalah anggota trip yang duduk di bangku samping dan depan saya
saya saat di kereta. Dari hasil ke-kepoan, saya tahu kalau mbak Eka adalah
pekerja di salah satu perusahaan kontraktor dan Alika adalah fotografer majalah. Mas
Endang duduk di sebelah kiri saya. Dari ceritanya saya tahu kalau dia sudah
pernah ke Makassar. Tak heran kalau sedang berbicara dengan saya, sesekali ia
menggunakan aksen dan bahasa makassar, tapi tetap saja kedengaran aneh di
telinga ‘Makassar’ saya (hehehe)
Perjalanan dari stasiun Tanah abang ke Stasiun Rangkas
Bitung memakan waktu sekitar 1,5 jam. Waktu yang cukup lama. Saya mencoba
menutup mata tapi tetap tak bisatertidur. Sesekali berseliweran pedagang yang
menjual aneka makanan dan minuman. mereka berpakaian rapi, ada juga yang
berdasi. “yang menjual itu petugas stasiun kereta, sekarang pedagang asongan
tidak boleh lagi berjualan di dalam gerbong” Mbak Eka menjelaskan. Saya manggut-manggut,
memuji kebersihan dan manajemen kerta yang bagus. Berharap Makassar atau
sulawesi selatan bisa punya kereta juga.
Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami harus menunggu lagi
sekitar setengah jam. Ternyata ada anggota trip yang tertinggal dan menyusul
dengan kereta lain. Sambil menunggu, saya berbincang dengan Mas Mas bercelana
batik bernama Agit. Dia anggota trip juga. bekerja sebagai kontributor di TV
Asahi Jepang. Dengan aksen jawa yang terdengar jelas saat berbicara, saya sudah
bisa pastikan kalau dia bukan orang Makassar (+_+). Mas Agit bercerita kalau
dia pernah berkunjung ke Makassar dan mencoba kuliner khas coto makassar. Ia juga
mengunjungi Bantimurung, salah satu
objek wisata yang terletak di kabupaten Maros, tidak jauh dari kota Makassar.
|
Rombongan Sigi Indonesia Adventure (Sign In) Berfoto di Stasiun Rangkasbitung
Foto : Mba Rebeca |
Setelah agak lama menunggu, teman-teman yang ditunggu akhirnya
datang juga. mereka adalah K’Kiki dan mbak Ipah. Ternyata K’Kiki adalah orang
Makassar ji juga. Senang bisa bertemu
teman dari daerah yang sama. Belakangan saya tahu kalau K’Kiki hijrah ke
jakarta beberapa tahun lalu dan bekerja di Alfa, salah satu perusahaan waralaba
swalayan terbesar di Indonesia.
Perjalan selanjutnya dilanjutkan dengan menyewa mobil Elf. Orang-orang menyebutnya mobil ‘Elep’. Rombongan kami yang berjumlah
sekitar 24 orang dibagi dua karena satu mobil Elep hanya bisa memuat 13-14
orang penumpang.
Mobil Elep yang kami tumpangi berwarna kuning cerah. Akang
sopirnya memacu Elep dengan sangat kencang. Saya yang duduk di kursi paling
belakang sesekali harus menahan nafas saat Elep berpapasan dengan kendaran lain
di tikungan dan Pak sopirnya sama sekali tidak menurunkan kecepatan. Ditambah lagi,
Jalan yang kamui lalui tidak bisa disebut mulus. Banyak lobang disepanjang ruas
jalan. Sempat juga kami terjebak macet karena ada truk pengangkut pasir yang
bannya kempes dengan sukses di tengah jalan sempit. Butuh hampir setengah jam
untuk bisa lolos dari kemacetan tersebut.
Tepat jam 13.00 mobil yang kami kendarai tiba di Ciboleger
yang merupakan gerbang masuk ke Baduy. Di tempat ini sudah terlihat banyak
orang-orang berpakaian khas suku badui, mereka baju hitam dan putih, memakai
ikat kepala, mengenakan tas dari kain atau akar serta tidak beralas kaki. Mereka
duduk-duduk dan berbincang, ada juga yang berdiri dan memperhatikan wisatawan
yang datang. Biasanya mereka menjadi guide atau porter untuk pendatang yang
ingin ke Baduy.
Di tempat ini juga rombongan kami shalat dan makan siang. Tersedia
Alfa mart, warung makan, serta berbagai penjual oleh-oleh khas suku baduy seperti
gantungan kunci, tas dari akar, gelang, kalung, dan baju khas Baduy. Saran saya,
sebaiknya belanja saat tiba di Baduy dalam saja. Karena berbelanja oleh-oleh
sebelum memulai perjalanan akan menjadi
kurang praktis dan menambah beban bawaan anda.
Setelah rombongan shalat dan makan, kami melanjutkan perjalanan.
Dimulai dengan mendaki anak tangga yang tidak saya hitung jumlahnya. Hanya beberapa
menit mendaki kami tiba di gerbang bertuliskan ‘selamat datang di baduy’
Sepanjang perjalanan akan terlihat pemandangan khas pedesaan
yang menawan. Ada sungai, jembatan dari bambu, pepohonan di sepanjang jalan,
serta udara yang segar. Beberapa teman terlihat berkali-kali berhenti untuk berfoto
mengabadikan pemandangan yang jarang di temui ini.
|
Meniti Jembatan Bambu
Foto : Mba Rebeca |
|
Berfoto Seperti ini Yang menghabiskan Banyak waktu di jalan =_=
foto : Mba Rebeca |
Desa baduy terdiri dari dari baduy dalam dan baduy luar. Baduy
dalam adalah masyarakat suku baduy yang masih berpegang teguh pada kepercayaan
untuk tidak menggunakan peralatan modern dalam kehidupan sehari-hari. Ada tiga
kampung di derah Baduy Dalam yaitu Cibeo, Ciketarwana dan Cigesik. Sementara baduy luar adalah masyarakat baduy
dalam yang ‘terusir’ atau keluar karena melanggar adat. Hal-hal melanggar adat
seperti menggunakan paku untuk membangun rumah, menikah dengan orang baduy
luar, atau memilih untuk keluar dari baduy dalam.
Kampung yang akan kami datangi adalah kampung Cibeo yang
terletak di Baduy Dalam. Butuh perjalanan sekitar 5 jam untuk sampai ke kampung
Cibeo. Kami harus melewati perjalanan naik turun bukit dan melalui sekitar 8
kampung yaitu Kaduketung, Cipondok, balimbing, Marengo, Gajebo, Cicakal,
Cepakbungur, dan tembayang.
Semua anggota rombongan terlihat sangat ceria dan segar di
awal perjalanan. Beberapa jam berikutnya satu persatu dari mereka terlihat
mulai melangkah dengan gontai. Termasuk saya yang sudah bercucuran peluh dan
menghabiskan beberapa botol air minum. Jalan yang saya pikir mulus ternyata
penuh dengan tanjakan dan turunan yang lumayan menyita energi. Kalau mau
membandingkan, perjalanan ke kampung Cibeo hampir sama dengan perjalanan ke lembah Ramma’ di sulawesi selatan.
|
Ngobrol sambil menikmati pemandangan bisa mengalihkan dari rasa lelah karena perjalanan
Foto : Mba Rebeca |
|
Istirahat Dibutuhkan Untuk memulihkan Kembali Tenaga Yang Terkuras |
|
Pemandangan Dari Atas Bukit
Foto : Mba Rebeca |
“kita sampai sekitar jam 8 malam” kata Kang erwin (semoga
saya tidak salah ingat nama), orang Baduy Dalam yang menemani perjalanan kami. Saya
sedikit shock. Perjalanan sudah terasa sangat jauh dan kami belum juga tiba di
tujuan. Langit juga terlihat mendung. Dalam hati saya terus berdoa semoga tidak
hujan.
Doa saya tidak terkabul, gerimis mulai turun berupa
bintik-bintik air. Beberapa anggota rombongan terlihat berhenti untuk memakai
mantel hujan. Saya sendiri tidak membawa mantel karena kurang persiapan. Jadinya,
saya cuma bisa pasrah diguyur hujan sambil berharap nanti tidak sakit atau
tiba-tiba pingsan di jalan karena kedinginan.
Hal yang saya syukuri saat hujan adalah kami sudah melalui
tanjakan terjal berupa tanah liat yang bisa saya pastikan akan sangat licin dan
berpotensi menelan korban terpeleset. Tanjakan
itu bernama tanjakan cinta. Sejarah nama tanjakan cinta tak begitu jelas. Yang pasti,
tanjakan cinta itu benar-benar membuat kami jatuh cinta sampai ingin menangis
rasanya. Saya, Alika dan Luluk tertawa menghibur diri saat melalui tanjakan
cinta.
Gelap sudah mulai menyelimuti hutan yang kami lalui. Masing-masing
sudah menyalakan senter dan headlamp untuk menerangi jalan yang gelap. Lagi-lagi
saya tak membawa senter. Lengkap sudah perjalanan yang saya lalui, hujan tanpa
mantel dan gelap tanpa senter. Beruntung saat gelap kami berjalan tak berjauhan.
Menjaga satu sama lain. Mbak Rebeka, perempuan tinggi berambut lurus yang
berjalan di depan saya harus terus menoleh setiap beberapa langkah. Menerangi jalan
yang saya lalui serta memastikan tidak tersandung batu atau akar pohon.
Hujan semakin deras, saya berhenti mengambil napas dan
memegangi kepala saya yang terasa agak berat. “pusing mbak?” suara laki-laki di
belakang saya menegur. “enggak koq” saya lanjut melangkahkan kaki. “pusingnya
jangan dirasain mbak” laki-laki itu melanjutkan. Saya tertawa kecil “maksudnya
pusing jangan dirasain gimana?” saya terus melangkahkan kaki. Menerobos aliran
air yang mengaliri jalan yang kami lalui. “Sakit itu datangnnya dari pikiran. Sama
dengan pusing. Kalau tidak dipikirkan maka pusingnya tidak akan terasa”. Benar juga
sih, sedari awal saya memang sudah meng-sugesti diri sendiri setiap kali
mendaki dan merasa nafas dan kaki sudah tidak mampu melanjutkan perjalanan
lagi. Tapi begitulah, sugesti saya kadang tak selalu berhasil.
Malam sudah semakin pekat, hujan pun sudah mulai reda. Kata akang
baduy yang mengantarkan kami, kampung Cibeo sudah dekat. Tapi saya memilih
tidak mempercayainya. Mengingat Akang itu sudah menyebutkan hal yang sama
berkali-kali dan kami belum juga sampai di kampung Cibeok. Saya sedikit girang
saat mencumpai Leuit, semacam rumah tempat menyimpan padi suku Baduy dalam. Logikanya,
kalau sudah menemui Leuit, maka perkampungan sudah dekat. Karena mereka tidak
mungkin menyimpan hasil tani terlalu jauh kan? Lagi-lagi perkiraan saya salah. Belum
juga kami temui kampung yang dimaksud
meskipun sudah melalui beberapa Leuit.
Setelah meniti jembatan, perasaan lega saya meluap-luap saat
melihat cahaya dan suara orang-orang. Akhirnya kami tiba di kampung Cibeok.
Sedikit terkejut saya mendapati banyak penjual makanan dan minuman hangat saat
memasuki kampung. Saya, luluk, mba rebeka dan Mas agit duduk di tangga depan salah
satu rumah warga suku baduy. Sambil menikmati wafer dan teh hangat traktiran
dari Mas Agit. Setelah itu kami berganti pakaian dan masuk ke dalam rumah suku
Baduy untuk beristirahat. Baru beberapa menit duduk, sudah berdatangan penjual
dari yang menawarkan gantungan kunci, kaos, baju khas Badui, serta madu. Suasana
jadi riuh karena terjadi tawar menawar yang alot. Pembeli kalah karena hanya berhasil
menawar dengan harga tipis . Setelah berbelanja,
kami makan malam dan tertidur dengan pulas tanpa gosok gigi. Tak apalah, Cuma untuk
satu malam :D
Maaf kalau tulisan saya panjang. Hehehe, sebenarnya ada
banyak momen yang masih ingin saya tuliskan. Jika ingin mengetahui tentang Persipan
dan Biaya Perjalanan ke suku Baduy Dalam,
klik di sini. Tunggu lanjutan dari
cerita di atas ya ;)