Minggu, 21 Juni 2015

Rindu Menunggu

Telpon dari ibu sejenak membuatku tertegun, hampir mengeluarkan air mata. Ia menasehatiku untuk lebih bersabar. Menjalani kehidupan dengan ikhlas. Katanya, akan ada masa saya akan berpisah dengan mereka. Jadi tidak usah terlalu diambil hati. Mereka adalah ujian kesabaran untuk saya. Mereka anak-anak dari ibu.

Semuanya berawal dari kejadian beberapa hari lalu. Adik perempuanku yang masih kuliah meminta untuk dijemput di kampusnya. Dengan bergegas, rapat salah satu kegiatan saya tinggalkan. Sesampai disamping kampus, Ia tak ada ditempat seharusnya ia berada. Handphonenya tak diangkat. Pesan singkat yang kukirim tak dibalas. Lagi dan lagi saya mencoba mnenghubungi, tapi sayang hanya operator yang menjawab. Saya mulai gelisah, suara nyamuk yang sedari tadi menemaniku bersahutan dengan suara azan maghrib.

Tak lagi menghitung menit, saya menekukkan kepala. Berharap adikku tiba-tiba muncul. Tidak lama ia menelpon balik, menjelaskan kalau hapenya tertinggal dan ia baru saja selesai shalat. Alasannya tidak kuterima. Ini bukan kali pertama ia memperlakukanku seperti itu. Membuat menunggu. Semua kejadian menunggunya tiba-tiba muncul. Terbayang saat malam dan hujan saya harus menunggunya di depan kampus sendirian. Berteduh di depan lapak penjual pulsa yang hampir tutup. Saat itu saya menunggu hampir dua jam dan ia muncul tanpa rasa bersalah.

Ia naik diatas boncengan motorku dalam diam. Ia pasti tahu saya marah besar. Motor yang kukendarai melaju dengan kencang. Mengejar waktu shalat maghrib yang hampir hampir mendekati isya. Tidak berhenti saya menggerutu dalam hati. Entah mengapa akhir-akhir ini saya gampang sekali tersulut amarah, terutama saat berhadapan dengan anak yang satu ini.


Sebulan lebih di Jakarta membuat rindu akan rumah menyeruak seenaknya. Yang paling aneh adalah saya rindu menunggui adik pulang dari kampus. Mencari-cari tulisan ini yang sebelumnya hanya saya save di folder blog. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar