Telpon dari ibu sejenak membuatku tertegun, hampir
mengeluarkan air mata. Ia menasehatiku untuk lebih bersabar. Menjalani
kehidupan dengan ikhlas. Katanya, akan ada masa saya akan berpisah dengan
mereka. Jadi tidak usah terlalu diambil hati. Mereka adalah ujian kesabaran
untuk saya. Mereka anak-anak dari ibu.
Semuanya berawal dari kejadian beberapa hari lalu. Adik
perempuanku yang masih kuliah meminta untuk dijemput di kampusnya. Dengan
bergegas, rapat salah satu kegiatan saya tinggalkan. Sesampai disamping kampus,
Ia tak ada ditempat seharusnya ia berada. Handphonenya tak diangkat. Pesan
singkat yang kukirim tak dibalas. Lagi dan lagi saya mencoba mnenghubungi, tapi sayang hanya operator yang menjawab. Saya mulai gelisah, suara nyamuk yang
sedari tadi menemaniku bersahutan dengan suara azan maghrib.
Tak lagi menghitung menit, saya menekukkan kepala. Berharap
adikku tiba-tiba muncul. Tidak lama ia menelpon balik, menjelaskan kalau
hapenya tertinggal dan ia baru saja selesai shalat. Alasannya tidak kuterima. Ini bukan kali pertama ia memperlakukanku seperti itu.
Membuat menunggu. Semua kejadian menunggunya tiba-tiba muncul. Terbayang saat
malam dan hujan saya harus menunggunya di depan kampus sendirian. Berteduh di
depan lapak penjual pulsa yang hampir tutup. Saat itu saya menunggu hampir dua
jam dan ia muncul tanpa rasa bersalah.
Ia naik diatas boncengan motorku
dalam diam. Ia pasti tahu saya marah besar. Motor yang kukendarai melaju dengan
kencang. Mengejar waktu shalat maghrib yang hampir hampir mendekati isya. Tidak
berhenti saya menggerutu dalam hati. Entah mengapa akhir-akhir ini saya gampang
sekali tersulut amarah, terutama saat berhadapan dengan anak yang satu ini.
Sebulan lebih di Jakarta membuat rindu akan rumah menyeruak
seenaknya. Yang paling aneh adalah saya rindu menunggui adik pulang dari
kampus. Mencari-cari tulisan ini yang sebelumnya hanya saya save di folder
blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar