Jumat, 29 Januari 2016

Kota Yang Layak Untuk Adi

Siang yang terik khas kota Makassar, saya melaju dengan motor membelah kemacetan di Jl. Pettarani menuju Jl. Sam Ratulangi. Tetapi sebelum sampai ke tujuan, seorang teman meminta dijemput di salah satu travel tidak jauh dari toko Elizabeth di Jl. Urip Sumoharjo.

Baru saja  memarkir motor, saya mendengar bunyi sempritan. Sumber suara itu ternyata berasal dari anak kecil berkaos hitam yang sedang mengatur parkir tidak jauh dari tempat motor saya. Saya tepat berada di depan sebuah travel yang berjarak satu ruko dari ruko toko Elizabeth, tempat anak tersebut mengatur parkir.

Di sisi kiri toko, seorang pria dengan badan berisi terlihat sedang duduk dan mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Di sebelahnya, secangkir kopi susu beserta korek api lengkap dengan sebungkus rokok. Kaos berkera yang Ia kenakan terlihat rapi dan
 senada dengan  jeans dan topinya. Matanya awas menatap sekeliling sembari memperhatikan gerak gerik pelanggan yang keluar dari toko. Jika ada yang ingin naik ke kendaraan, segera matanya mengarah ke anak laki-laki di sebelahnya seolah berkata “Itu sanae, pergiko ambil uang parkirnya”, kemudian anak itu dengan sigap membunyikan sempritannya. Berlari-lari kecil mendekati perempuan yang sudah menyalakan mesin motor dan bersiap ingin pergi.

Dari jarak sekitar beberapa meter, saya terus memperhatikan anak itu. Ragu antara ingin bertegur sapa atau langsung menghubungi temanku agar segera keluar dari travel dan kami bisa melanjutkan perjalanan. Ternyata rasa penasaran saya menang. Perlahan langkah kaki saya arahkan mendekati tempat anak tersebut sedang duduk. Setelah sebelumnya bertanya apakah boleh duduk di dekat anak itu. Ia hanya tersenyum pertanda tidak keberatan.

Dari percakapan singkat kami, saya jadi tahu kalau juru parkir kecil itu bernama Adi. Ia melakukan rutinitasnya sebagai juru parkir setelah pulang sekolah. Sementara laki-laki berbaju kaos adalah suami dari kakaknya. Ia mengajak Adi untuk menjadi tukang parkir agar Adi bisa mendapat penghasilan. Meski sekolah sudah gratis, alat tulis dan jajan belum bisa gratis.

Kepada Adi saya banyak mengajukan pertanyaan
 kepo. Mulai dari penghasilan, tempat tinggal, sekolah, serta alasan menjadi juru parkir. Ia menjawab dengan ragu-ragu. Sesekali melirik ke arah lelaki berbaju kaos seperti meminta persetujuan. Ia mengatakan bisa mendapatkan penghasilan sekitar 30 ribu rupiah per hari. Penghasilan yang cukup menggiurkan menurutku. Apa lagi untuk anak kelas 4 SD seperti Adi. Uang tersebut sebahagian ia serahkan ke Ibunya, sebahagian lagi Ia gunakan untuk jajan, begitu menurut penuturannya.

Adi adalah satu dari sekian banyak juru parkir anak-anak yang ada di wilayah Makassar. Bisa dipastikan juru parkir ini tidak terdaftar di perusahaan daerah parkir yang merilis data jumlah petugas parkir mencapai 1.297 yang tersebar di 14 kecamatan se-Makassar. Dari data tersebut, jumlah petugas parkir terbanyak ada di Kecamatan Ujung Pandang (307), kemudian Kecamatan Wajo (244) dan Kecamatan Panakukang (233). Tidak heran karena di kecamatan-kecamatan ini banyak tempat  strategis dan dipenuhi dengan pusat perbelanjaan maupun kawasan wisata.

Adi bukan satu-satunya anak yang memilih menjadi juru parkir sepulang sekolah.  Sebut saja Ricki (2 SMP), Habib (2 SMP), dan Agil (4 SD). Mereka adalah juru parkir paruh waktu di salah satu cafe di Jl. Urip Sumoharjo. Dari pengakuan mereka, tidak ada yang dipaksa menjadi juru parkir. Semua mereka lakukan atas keinginan sendiri.


Pendapatan Ricki, Habib dan Agil dengan menjadi juru parkir  rata-rata 10 ribu per harinya, “Itu uangnya dikumpul di kak Acil, nanti Kak Acil yang bagi”, begitu kata Ricky saat kutanya bagaimana mereka membagi uang hasil parkir.

Ricki yang saya hampiri saat itu sedang duduk di atas salah satu motor pengunjung kafe terlihat  bermain game di handphone android merek Korea yang ia pegang. “Itu hasil dari parkir?” saya menatap Ricky dengan berbinar dan takjub. “Bapakku belikanka” Ia menoleh sebentar, tertawa dan melanjutkan bermain game. Saya kembali takjub.

Mayoritas dari anak-anak juru parkir yang kutemui mengaku hanya bekerja sepulang sekolah. Usia mereka tentu saja belum layak untuk bekerja. Jika merujuk ke Undang-Undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, anak adalah penduduk berumur di bawah 18 tahun.  Juru parkir ini masih bersekolah di sekolah dasar dan sekolah tingkat menengah yang tentu saja masih berkategori ‘anak’.

Banyaknya anak-anak yang menjadi juru parkir membuat saya miris. Mereka tidak seharusnya menghabiskan waktu di tepi jalan raya dengan banyaknya bahaya yang mengintai. Mulai dari resiko kekerasan fisik, psikis hingga kekerasan seksual yang bisa saja mereka alami.

Penasaran dengan Adi, juru parkir yang pertama saya temui, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke sekolahnya. Sampai di sekolah saya tersadar kalau lupa mencatat nama lengkap sekolah anak itu. Padahal terdapat tiga sekolah dalam satu kompleks yang saya datangi. Saya masih ingat Adi bilang kalau dia masih kelas 4. Itu artinya saya bisa mempersempit pencarian hanya di kelas 4 masing-masing sekolah.

Saat kutemui, Adi sedang jajan bersama teman-temannya. Ia tersenyum malu saat kutanya apa masih ingat dengan saya. Setelah itu Ia berlari masuk ke dalam kelas. Memaksanya untuk bercerita sepertinya bukan pilihan tepat. Beberapa teman Adi malah lebih terlihat agresif memberondongku dengan banyak pertanyaan. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan menggali sebanyak mungkin informasi tentang Adi dari mereka.

Fadli, salah satu teman Adi dengan leluasa bercerita bahwa Adi adalah ‘bos’ di kelas 4. Bos? Saya meyakinkan diri tidak salah dengar “Iye Kak. Adi itu bos di kelas. Kalau ada yang pukul
 ki toh, langusungki tanyaki (Adi) nanti dia yang hadapi”. Saya mengangguk-angguk. Begini ya masa kecil anak kota jaman sekarang?

Beberapa anak-anak teman Adi kutanya tentang aktifitas mereka sepulang sekolah. Tidak ada yang menjawab ‘juru parkir’. Mereka bilang “Biasa kak. Main, makan, tidur, belajar”.

Saya jadi tambah penasaran. Mungkinkah teman-teman Adi tidak tahu kalau dia menjadi juru parkir sepulang sekolah? Saya sebisa mungkin tidak keceplosan mengatakan bertemu Adi saat sedang parkir. Mengganti topik pembicaraan dan mengucapkan selamat tinggal karena tidak berhasil mengajak Adi berbicara.

Adi, Ricki, Habib dan Agil hanyalah sebahagian kecil potret kehidupan anak-anak Makassar  yang memilih mencadi juru parkir paruh waktu. Mendapatkan penghasilan tentu saja menggiurkan untuk anak-anak seusia mereka. Hanya dengan mengatur dan memastikan semua motor dan helm aman, mereka bisa dibayar hingga 30 ribu per setengah hari mereka bekerja. Tentu saja dengan pengawasan orang dewasa.

Dibalik kekhawatiran tentang nasib anak-anak ini,  warga Makassar harus bersyukur karena beberapa waktu lalu Walikota Makassar sudah mencanangkan kota tercinta ini menjadi Kota Layak Anak (KLA) tepatnya pada tanggal 22 September 2014. Pencanangan ini ditandai dengan penandatanganan spanduk dukungan.

Untuk mencapai predikat KLA, kota Makassar harus memenuhi 31 indikator yang tertuang dalam peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 12 tahun 2011. Pemerintah melalui salah satu berita online mengaku sudah memenuhi 31 indikator yang dimaksud. Mereka optimis tahun ini bisa memperoleh predikat Kota Layak Anak.

Melihat nasib Adi, Ricky, Habib dan Agil, entah mengapa piagam KLA serasa masih sangat jauh.







Beberapa sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar