Selasa, 30 September 2014

Meng-Update rasa syukur

Terima kasih Kepada kehidupan yang telah banyak sekali memberikan pelajaran untuk saya. Seperti gadget, ternyata rasa syukur pun perlu di update. Caranya?.

Sebulan yang lalu tepatnya tanggal 23 juli 2014, saya, melalui komunitas sobat lemina mengadakan kegiatan di sekolah luar biasa pembina tingkat provinsi Sulawesi Selatan. Sekolah ini terletak dijalan Dg Tata. Jalan masuknya tak begitu terlihat. Ada papan nama besar di pinggir jalan menunjuk ke arah SLB ini, tapi nampaknya kalah gagah dibanding papan-papan reklame lainnya.

Pertama melakukan observasi ke sekolah ini, saya sudah sangat excited. Sekolahnya tampak sunyi, tak ada aktifitas disana. Rumput liar tumbuh dimana-mana. Is it a school? Ragu, saya bersama relawan bernama kak Ayu menyapa ibu-ibu yang terlihat sedang asyik ngobrol di lokasi sekolah. Dari penuturan ibu tersebut, kami mendapatkan iinformasi kalau ternyata sekolah baru memulai aktifitas beberapa hari setelah libur panjang. Pantas saja, kami tak menjumpai anak-anak disana. Seperti masa sekolah dulu, seingat saya, selalu ada penyakit I-Want-stay-home setelah liburan panjang.

Saya baru berhasil menemui kepala sekolah setelah sekian kali bolak balik sekolah. Ah, tak apa. Selalu ada ‘pemandangan’ indah yang saya temui Setiap kali mendatangi sekolah ini. Seperti Saat memarkir motor dan menunggu kedatangan teman relawan yang lain.

Iya, seperti saat itu. Seorang ibu-ibu berjalan tergesa-gesa ke arah motornya yang ternyata parkir persis didepanku. Dibelakangnya ada seorang anak SD gendut yang terlihat berjalan dengan acuh. Ia tampak sehat, dengan bola mata jernih yang penuh semangat. Kulitnya putih dengan perawakan yang menggemaskan. Kuperkirakan, sang ibu baru saja mendaftarkan anaknya sekolah.

Entah apa yang awalnya terjadi, ibu itu sudah tampak kesal dengan tingkah anal laki-laki gendut yang bersamanya. “jangan ko cerewet nah!” kata-kata itu yang kuingat keluar dari mulut sang ibu. selanjutnya diiringi kata-kata “tolo!” dan “bodoh”. Anak laki-laki tersebut juga tampak uring-uringan. Ia mengeluarkan kata-kata aneh yang tak bisa kutangkap dengan jelas. Tak mau diam, ia terus berteriak Sampai ia naik katas motor, tak mau kalah, sang ibu masih tak berhenti mengomelinya.

Sampai motor itu menjauh, ada butir-butir hangat yang tiba-tiba mendesak ingin keluar dari mataku. Perasaan sedih yang mendesak-desak. Saya menutup kaca helem, tak mau ketahuan menangis oleh beberapa orang tua dan murid yang lalu lalang. Serta merta bayangan saat saya kecil bermunculan. Memang saya tak dibonceng ke sekolah, karena lokasi sekolah yang persis dibelakang rumah. Tapi, saya masih bisa ingat setiap kali mencium tangan ibu sebelum ke sekolah. Kemudian Berceloteh tentang PR matematika yang susah. Harusnya anak itu bisa merasakan hal yang sama.

Terlalu cepat kalau saya menarik kesimpulan kalau orang tua anak itu ‘jahat’ dan tak ber peri-ke-anak-an. Bisa jadi ia punya alasan khusus untuk mengatakan dan memperlakukan anaknya seperti itu. Atau bisa jadi, anak itu malah bukan anaknya. Saya mungkin hanya sok tahu. Tapi terlepas dari ke-sok-tahu-an saya. Saya tak pernah setuju dengan metode memarahi dan mengumpat anak kecil. Sama seperti betapa tak sukanya saya dimarahi atau di umpat.

Dear anak laki-laki yang tak saya tahu namanya itu. Semoga kita bertemu dilain waktu. Dan jadi apapun kamu kelak dek, tak perlu khawatir, karena Tuhan tak perna lepas pengawasan terhadap hambaNya. Pelajaran yang kamu berikan hari ini, akan saya ingat baik-baik. 

foto : salah satu relawan bernama k fani, yang sedang mengarahkan anak downsyndrome untuk mengikuti lomba.





Kamis, 18 September 2014

Pendakian Pertama

Mendaki gunung adalah hal yang tak akan pernah kulakukan seumur hidup. Apa yang sebenarnya dicari dari pendakian. Kamu bisa menikmati pemandangan tanpa harus mendaki gunung bukan? Menyusahkan dirimu dengan beban berat di punggung. Ditambah lagi dengan fasilitas buang hajat yang tak akan pernah kau dapati seeenak di rumah. Ya, semua itu adalah persepsi prematur yang muncul di otakku sebelum mendaki.

Tapi kalau tak pernah mencoba, saya tak akan pernah tahu rasanya mendaki. Ditambahlagi, perempuan tak punya banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal ‘kurang kerjaan’ seperti itu. Saya pun memikirkan, menimbang dan kemudian memutuskan untuk memenuhi ajakan teman untuk mendaki gunung. Meski harus memelas beberapa kali dan berusaha meyakinkan, akhirnya orang tua setuju.

Persiapan fisik sangat diperlukan sebelum memulai pendakian. Teman yang menjadi provokator

pendakian ini menyaranka untuk melakukan jogging ringan, keliling lapangan. Baru, setengah putaran nafas sudah terasa sangat berat. Sepertinya ini tak akan mudah.

- Persiapan

Mendaki tanpa persiapan yang matang sama dengan bunuh diri. Ada banyak hal yang bisa terjadi saat mendaki. Dan setiap pendaki harus siap dengan semua kemungkinan terburuk, seperti sakit, nyasar, kehabisan makanan dan sebagainya.

Sebelum memulai pendakian, sangat penting untuk mengetahui lokasi dan medan yang akan ditempuh. Kalaupun tak tahu, pastikan dalam rombongan ada yang berpengalaman dengan pendakian. Selanjutnya, cek semua peralatan yang akan dibawa mendaki. Pastikan tak ada anggota rombongan yang kekurangan peralatan. Saling bantu melengkapi peralatan serta belanja bahan makanan akan menambah keakraban diantara sesama rombongan. Hal yang tak kalah penting adalah, jangan lupa untuk menginfokan kepergian kalian mendaki kepada keluarga dan atau teman. Pastikan untuk mendapatkan ijin untuk mendaki dari orang tua. Untuk jaga-jaga, titiplah no telpon yang bisa dihubungi oleh mereka.

- Pendakian Sebelum memulai perjalanan, sangat disarankan untuk berdoa dan meminta keselamatan kepada yang Maha kuasa.

Saat memulai pendakian, jangan terlalu memorsir tenaga. Melangkahlah dengan biasa dan tidak terburu-buru. Nikmati perjalanan dan pemandangannya.

Saat istirahat, posisis kaki jangan dilipat agar peredaran darah lancar dan anda tak mudah lelah. Sebaiknya ta beristirahat terlalu lama. Semakin lama beristirahat, semakin berat rasanya kaki melangkah.

- Kembali dari pendakian Kembali dengan selamat dari pendakian setelah menempuh medan yang menurutku sangat berat, merupakan suatu kesyukuran yang luar biasa. Eits, tapi jangan langsung bubar dulu. Ritual selanjutnya setelah mendaki adalah mencuci dan membersihkan semua peralatan seperti tenda, Sleeping Bag, ransel, peralatan makan dll. Selamat mendaki. Akan selau ada pelajaran terselip untukmu dari alam.

Sang Provokator

Entah karena takdir atau apa, saya dipertemukan dengan kawan yang satu ini. Matanya yang sipit dan senyum yang sering tersungging dari wajahnya membuat ia kelihatannya gampang bergaul dan  supel. Ia adalah representative orang indonesia ‘banget’.

Saya masih ingat persis saat menjadi leader di small discussion. Dia memperkenalkan diri sebagai mahasaiswa kelautan di salah satu universitas negeri ternama Makassar.

Awalnya kupikir dia adalah orang yang pendiam, tapi saat sudah kenal ternyata dia senang sekali bercerita. Pengalamannya yang segudang dengan riwayat travelling yang banyak membuatnya tak sungkan berbagi. Yang paling menarik adalah pengalamannya saat diluar negeri. Well, mungkin untuk beberapa orang, kedengarannya ia ‘songong’ dan ‘bacrit’. Tapi saya sama sekali tak menemukan kesombongan dibalik cerita-ceritanya.

Saya masih ingat betul saat dia menawarkan diri merubah tampilan blog BPEC. Saya yang sotoy juga ikut menawarkan blogku untuk dipermak. Dan hasilnya, tadaaaa! Blog ini berubah jadi cantik. Setelah sebelumnya penuh dengan sarang laba-laba. Tak berhenti di situ, ia juga menawarkan blog ini untuk di rubah menjadi blog berbayar. What a kind boy!

Beberapa lama setelah merubah blog, dia mengajak kami, pengurus BPEC untuk mendaki gunung. Hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh gadis 'rumahan' seperti saya. Pendakian yang mengajarkan banyak hal tentang alam dan kehidupan. Kedengarannya agak 'lebay', but that's the truth. Cobalah ;)

Seperti kata pepatah, tak ada perjumpaan tanpa perpisahan. Saya tahu, suatu saat nanti dia akan meninggalkan organisasi yang kami geluti bersama dan melanjutkan studi keluar negeri. Daripada memikirkan hal tersebut, saya lebih memilih mengingat-ingat kebaikannya, serta pesan kecil yang dia selipkan diantara percakapan kami tempo hari.

Terima kasih banyak kawan. Tetaplah jadi laki-laki baik, dan terus memperbaiki diri. Bukan Cuma dimata manusia tapi juga di mataNya.

Ps: pada akhirnya, kita memang berpisah. Bukan karena ia keluar negeri, tapi karena urusan kerja. Sampai ketemu lagi kawan, di masa yang masih menjadi rahasia Tuhan