Sabtu, 19 Desember 2015

Sehari Menjelajah Sulawesi Selatan, Bisa!


Bisakah menjelajahi provinsi sulawesi selatan yang luasnya sekitar  45.764,53 km² hanya dalam satu hari? kenapa tidak? Waktu tersebut relatif, tergantung berapa lama anda menghabiskan waktu di setiap ‘objek wisata’ dan terpesona dengan budaya yang ada. Ini sudah termasuk aktifitas foto-foto narsis dan swafoto yang wajib di-upload di lini massa.

1.Benteng Rotterdam
Ada banyak alasan kenapa menggunjungi benteng Rotterdam kamu bisa menjelajah Sulawesi Selatan. Bangunannya yang menyimpan sejarah kerajaan-kerajaan sulawesi selatan serta terbentuknya kota Makassar menjadi salah satu alasan. Selain itu, di dalam kawasan benteng Rotterdam juga terdapat museum La Galigo yang akan semakin menambah wawasan tentang sejarah dan budaya Sulawesi Selatan.

Di dalam museum terdapat banyak informasi mengenai budaya Sulawesi Selatan bahkan sejak zaman pra-sejarah. Mulai dari cara bercocok tanam, baju adat, sampai peralatan untuk upacara nikahan adat bugis juga ada. Jadi jangan baper ya. saya harap kamu bisa keluar dari museum masih dengan wajah ceria. 

Lokasi museum La Galigo berada dahulu bernama Benteng Ujung Pandang, tetapi berubah nama setelah diduduki oleh Belanda. Cornelis Speelman, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan ekspedisi Makassar mengubah nama Benteng Ujung Pandang Menjadi Fort Rotterdam, nama kampung halamannya di Belanda. Mungkin agar bisa tetap merasa ‘Homie’ di tempat yang baru saja Ia duduki.  Tidak heran  jika Arsitekturnya juga ‘sangat’ Eropa.

2. Pantai Losari
Setelah menyambangi Benteng Rotterdam, kamu bisa jalan-jalan ke Pantai Losari. Yang saya maksud jalan-jalan adalah benar ‘jalan-jalan’ dalam arti sebenarnya, tanpa naik kendaraan, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari Benteng Rotterdam. Tapi saya sarankan untuk menggunakan sepatu atau alas kaki senyaman mungkin.

Dengan berjalan kaki kamu bisa melihat aktivitas masyarakat dan merasakan langsung interaksi dengan penduduk Makassar yang menggantungkan kehidupan di sepanjang jalan menuju pantai Losari. Buktikan juga kalau warga Makassar tidak sekasar yang sering di beritakan media.

Butuh waktu sekitar 15 menit berjalan kaki dari Benteng Rotterdam menuju Pantai losari. Setelah berada di sana, jangan hanya berfoto dengan latar 'city of Makassar' ya. Kamu bisa menjelajahi sulawesi selatan dengan berjalan kaki sepanjang anjungan pantai Losari. Budaya dan khas provinsi ini  bisa dilihat dalam bentuk patung-patung replika yang berdiri kokoh di sepanjang anjungan. 

Pantai Losari merupakan salah satu icon kota Makassar yang sangat terkenal. Tidak ‘mabrur’ rasanya jika ke Makassar dan tidak mengunjungi tempat ini serta berfoto dengan latar tulisan Pantai Losari. Akan lebih indah jika mendapati sunset atau matahari tenggelam sambil menikmati jajanan khas kota Makassar yang ada di sekitaran pantai Losari.

Pantai losari memiliki 3 anjungan utama, yaitu anjungan Bugis, Toraja, dan Mandar. Nama-nama tersebut mewakili masing-masing suku yang ada di sulawesi selatan. Setiap anjungan memiliki patung Replika khas daerahnya sendiri. Misalnya rumah adat Tongkonan yang berada di Anjungan Toraja, atau patung Penari kipas di Anjungan Bugis.

Selain sunset dan jajanan khas Makassar, di Pantai Losari juga bisa ditemukan jejeran patung replika dengan berbagai bentuk. Patung-patung ini tidak hanya menjadi hiasan tetapi memiliki makna.
1.     

Patung Becak adalah salah satu yang bisa kamu temukan di Pantai Losari. Becak adalah transportasi yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan masih bertahan sampai sekarang. Meskipun teknologinya sudah berubah dari masa ke masa, sarana transportasi yang satu ini tetap bertahan dan melegenda.  Lalu mengapa becak identik dengan kota Makassar? Hasil sejarah menunjukkan bahwa becak pertama kali digunakan di Makassar yang ditemukan oleh orang jepang.    

2.      
Sulawesi selatan juga dikenal dengan hasil tenunannya yang khas di beberapa daerah. Diantaranya Toraja, sengkang, dan Mandar. Beberapa  daerah ini memiliki ciri khas kain tenun yang berbeda. Daerah toraja dengan tenunan didominasi warna gelap dan dan motif garis. Sedangkan tenunan sengkang dan Mandar didominasi dengan warna cerah dengan bahan dasar sutra. Mungkin hal tersebut juga yang menjadi alasan dibuatnya patung perempuan menenun di anjungan ‘mandar’ pantai Losari. Patung ini memperlihatkan seorang perempuan dengan penutup kepala sedang duduk menenun.

3.       
Tidak jauh dari Patung menenun terdapat patung penari Pa’raga. Tarian Pa’raga adalah tarian yang menampilkan 3 orang atau lebih laki-laki yang bermain bola rotan. Mereka membentuk formasi sambil terus menjaga keseimbangan agar bola tidak jatuh.
Seiring berkembangnya zaman, Tarian Pa’raga tidak lagi sebatas ritual semata. Tarian ini dibawakan saat menyambut tamu ataupun kegaitan-kegiatan tertentu sebagai penghibur.

4.      
Patung rumah tongkonan adalah replika yang bisa kamu temukan di Anjungan Toraja. Rumah tongkonan adalah sebutan untuk rumah adat Toraja. Ciri khasnya yaitu mempunyai bentuk atap yang melengkung dan terdapat susunan tanduk kerbau di bagian depan bangunan rumah Tongkonan. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang terpajang di bangunan rumah tongkonan, semaking tinggi kasta keluarga yang mendiami rumah tersebut.
5.       

Selain Rumah Tongkonan, terdapat juga patung Tedong Bonga di Anjungan Toraja. Dalam bahasa Bugis atau toraja, Tedong berarti kerbau. Sedangkan Bonga berarti belang. Beberapa orang menyebut tedong bonga dengan sebutan Kerbau bule karena coraknya yang tak biasa. Lalu apa yang membuat popularitas kerbau ini begitu spesial dan mengalahkan hewan-hewan yang lainnya di Toraja ? Ternyata harga tedong bonga  mencapai ratusan juta rupiah per ekornya membuat hewan ini memiliki prestige tersendiri bagi masyarakat Toraja.

Suku bugis dikenal sebagai pelaut yang handal dari masa ke masa. Tidak heran jika kapal-kapal layarnya diabadikan menjadi salah satu ikon kota Makassar. replika, patung, bahkan gedung dibentuk menyerupai kapal Phinisi. 

Tempat ini pengunjung bisa menikmati sunset sekaligus mempelajari budaya sulawesi selatan melalui patung-patung replika. Jika mempunyai banyak waktu, tentunya melihat wujud asli dari patung-patung tersebut lebih di sarankan lagi :D

3. Jalan Somba Opu
Di sepanjang jalan ini merupakan pusat oleh-oleh kota Makassar. Terdapat banyak hal yang bisa kamu bawa pulang untuk keluarga di rumah sebagai buah tangan. Mulai dari kain corak Toraja, miniatur kapal Phinisi, sampai minyak Tawon juga tersedia. Jadi kamu bisa mendapatkan barang-barang khas Sulawesi Selatan. Sangat menghemat waktu, bukan?



Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog competition travelNBlog 5: Jelajah Sulsel" diselenggarakan oleh @TravelNBlogID





Sabtu, 05 Desember 2015

Menelusuri Jejak Sejarah Makassar (Cerita TravelNBlog Makassar)

"Hasan terlihat bermain-main dengan batu yang ia susun berbentuk sebuah robot. Tidak jauh dari tempat Hasan, Aru  juga sibuk mengumpulkan batu. Tidak mau kalah ia membangun robot-robotan yang lebih besar. Mereka tertawa bersama saat salah satu dari robot mereka jatuh menghempas tanah. Kelak ketika besar, Hasan dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin, dan Aru dikenal dengan nama panjang Arung Palakka"

Adegan pada awal paragraf diatas tentu hanya ada dalam kepala saya. Membayangkan kebahagiaan masa kecil Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin seperti anak-anak kebanyakan. Sebab mendengar cerita tentang mereka yang di masa kecil berteman dan diasuh oleh orang yang sama tetapi kemudian menjadi musuh perang pada tahun 1667.

Siapa yang tidak kenal nama Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka. Yang satu pahlawan nasional, dan yang satu lagi sering disebut pengkhianat karena bekerjasama dengan VOC. Nama keduanya menghiasi literatur sejarah kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan yang menjadi cikal bakal kota Makassar. 

Sebenarnya saya tidak suka mengungkit tentang masa lalu, karena hal tersebut biasanya menimbulkan pertengkaran (eh). Toh, kejadian itu sudah terjadi berabad-abad silam. Begitupun dengan kisah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka. Tentang siapa pahlawan atau siapa penghianat. Cukup. saya tidak akan menuliskan hal tersebut. Sekarang saatnya move on dan menatap masa depan.

Apa mau dikata, Mengikuti kegiatan TravelNBlog membuat saya ‘harus’ ikut menelusuri kembali jejak sejarah Makassar. Untuk yang belum tahu, TravelNBlog adalah kegiatan sharing dan workshop menulis cerita perjalanan yang berlangsung selama dua hari di Makassar. Salah satu sesi dalam TravelNBlog adalah  mendatangi dua benteng bersejarah yaitu Benteng Somba Opu dan Benteng Rotterdam. Bersama 11 orang peserta TravelNBlog Makassar, perjalanan kami dimulai dengan menyambangi Benteng Somba Opu.

Benteng Somba Opu dibangun pada abad XV oleh raja Gowa IX Daeng Marante Tupasiri Kallona pada tahun 1550-1650. Butuh waktu seratus tahun lamanya untuk membangun salah satu benteng kebanggaan orang Sulawesi ini.

Kalau dihitung, ini kali kedua saya mendatangi Benteng Somba Opu. Pertama, saat pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah di awal semester kuliah. Saat itu tidak banyak yang bisa saya ceritakan, selain kejadian kesurupan  anak-anak perempuan yang mungkin lelah atau kebanyakan menghayal saat diiberi materi. Mengunjungi Benteng Somba Opu yang kedua kali ini berbeda. Tidak ada kejadian kesurupan ataupun bentakan senior. Saya bisa leluasa melihat ke sekeliling area yang ternyata cukup luas.

Setelah penjelasan mengenai sejarah panjang Benteng Somba Opu, kami diajak mengunjungi salah satu museum yang berada di kawasan benteng. Museum ini dikenal dengan nama Museum Karaeng Pattingallongan.

Beliau adalah salah satu cendekiawan Sulawesi yang disegani penjajah karena kecerdasannya. 
“…He knew all our mystery very well, had read with curiosity all the chronicles of our European kings. He always had book of ours in hand, especially those treating with mathematics, in which he was quite well versus. Indeed, he had such a passion for all branches of the science that he worked at it day and night. To hear him speak without seeing him one would … him for a native Portuguese for he spoke the language as fluently as people from Lisbon itself.          
Jangan ragu-ragu untuk membuka google translate jika tidak mengerti tulisan diatas. Tulisan tersebut terpajang dalam bingkai kaca area museum dan merupakan keterangan dari Alexander Rhode dalam tulisan Prof. Mr. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, salah seorang pakar sejarah Universitas Hasanuddin.

Dari tulisan tersebut tergambar jelas kecerdasan Karaeng Pattingalloang yang menguasai Bahasa Portugis. Tidak hanya itu, ada juga yang menyebutkan ia menguasai enam sampai tujuh bahasa, bahakan sangat mahir berbahasa latin. Kecerdasan itu tentu tidak didapatnya dari kursus bahasa asing. Posisi sebagai Mangkubungi kerajaan Gowa-Tallo membuat Karaeng Pattingalloang  banyak bergaul dengan orang Eropa yang datang membawa barang dagangan maupun yang berdiam di Bandar Makassar.

Puas mengelilingi museum, kami kembali ke mobil dan melanjutkan tour ke tempat berikutnya, Benteng Rotterdam. Benteng ini jauh berbeda kondisinya dengan benteng Somba Opu. Selain bangunan yang memang berbentuk ‘benteng’, area fort Rotterdam jauh lebih bersih disbanding benteng sebelumnya. Lokasi yang berada tidak jauh dari Pantai Losari membuat tempat ini sering ramai pengunjung.

Masyarakat Bugis-Makassar dulu menamai benteng ini dengan nama Benteng Ujung Pandang. Tetapi setelah jatuh ke tangan Belanda, Cornelis J. Speelman yang saat itu menjadi panglima perang, mengganti nama Benteng Ujung Pandang menjadi Benteng Rotterdam. Nama itu diambil dari nama kampung halaman Speelman di Belanda.

Meski sejak dulu tidak menyukai pelajaran sejarah, perjalanan bersama peserta TravelNBlog Makassar kali ini membuat saya melihat sejarah dari sisi berbeda. Sejarah bukan soal mengingat puluhan tanggal penting dan tahun-tahun yang berdarah. Sejarah bukan soal siapa pahlawan ataupun penghianat. Sejarah adalah pelajaran seumur hidup yang kurikulumnya tidak boleh kaku seperti di sekolah.