“Janganmi kak kasiki, kan tidak parkirja” saya berkata pada kakak perempuanku yang baru saja keluar dari
salah satu toko retail yang keberadaannya sudah seperti jamur, dimana-mana. Ia
terlihat merogoh tas kecilnya, mencari uang ‘kecil’. “Janganmi” Saya masih bersikeras agar ia tidak bayar parkir. Toh saya tidak parkir
dan masih tetap tidak meninggalkan kendaraan . sementara itu, anak laki-laki
dengan celana jeans robek-robek sudah berdiri beberapa langkah dari motorku. Kakak perempuanku hanya
diam. Ia naik ke boncengan setelah memberikan uang berwarna abu-abu bergambar
pangeran Antasari kepada tukang parkir itu. Saya gondok dan tak ikhlas. Apa
lagi melihat penampilan tukang parkir yang tidak memakai rompi oranye. Artinya dia tukang
parkir liar, kan? Saya memacu kendaraan. Meninggalkan tempat tersebut dengan
berbagai macam prasangka jelek terhadap anak-laki-laki tukang parkir tadi. Mungkin dia adalah salah satu geng
motor? Atau dia gunakan uang hasil parkirannya hanya untuk membeli rokok, atau
bahkan untuk nge’lem’? setan-setan di
kepala saya berpesta.
Setelah jauh dari toko tadi, saya masih bertanya
kepada kakak, kenapa Ia ngotot memberikan uang parkir.”Ah, diam mako.
Kasimi saja. Dari pada na tobo’ko” saya terdiam. Tobo’ dalam bahasa Makassar berarti ‘tikam’.
Jadi kakak baru saja menyuruh saya diam. Ia tidak mau bermasalah dengan tukang
parkir yang tadi karena takut kalau-kalau ia membawa benda tajam. Siapa yang
tahu kalau dia sedang tidak mabuk kemudian tanpa pikir panjang menikam kami
hanya karena tidak mau bayar parkir.
Lain lagi cerita seorang teman tentang
parkiran di Toko Agung yang
terletak di Jl. Sam Ratulangi, Makassar. Lokasi ini adalah salah
satu tempat
yang sudah menjadi keniscayaan terkena macet di hari kerja. Lokasi di tengah
kota dan di depan Pusat perbelanjaan menjadi salah satu alasan. Salah banyaknya
adalah parkiran yang tidak rapi serta tukang parkir yang ‘agresif’. Saya sebut
agresif karena jumlah mereka banyak dan tidak ragu menghalangi setengah jalan
hanya untuk mengarahkan motor untuk parkir di tempat mereka. “Parkir disiniki, disiniki.
Penuh di depan,” begitu kata mereka setiap kali pengunjung Agung terlihat membeludak.
Tidak habis pikir saya dengan tingkah mereka yang sangat mengganggu kenyamanan
berkendara itu. Kata teman, parkiran
tersebut dibackingi oleh seorang
preman. “Kenapa premannya tidak ditangkap?” saya bertanya dengan polosnya. Dan
dengan wajah serius Ia mengatakan kalau preman itu dekat dengan ‘orang besar’
sehingga tak tersentuh aparat. Saya manggut-manggut. Memilih antara percaya dan
tidak percaya.
Kejadian-kejadian seperti itu mungkin sudah
lekat dengan sebahagian besar masyarakat perkotaan. Termasuk saya. Konsekuensi
memiliki kendaraan sendiri adalah kerelaan untuk membayar jasa parkir motor dan
segala ketidaknyamanan parkiran terkhusus di Kota Makassar. Coba kalau naik
kendaraan umum, tentu saja tidak ada yang namanya uang parkir busway atau uang
parkir pete-pete. Lebih hemat, tidak? Kenyataannya sama saja.
Di sisi lain, keberadaan tukang parkir juga
sangat membantu di tengah maraknya pencurian kendaraan bermotor ataupun helm.
Sebelum meninggalkan kendaraan bermotor biasanya saya selalu bertanya “Amanji helm, pak?” dan
dengan yakin tukang parkir menjawab “amanji itu kalau di sini, dek,” setelah itu saya akan
melenggang pergi dengan hati plong. Keberadaan tukang parkir sudah seperti buah
simalakama. Di satu sisi menguntungkan, dan di sisi lain menyebalkan. Mereka
bisa muncul di mana saja secara tiba-tiba. Bahkan jika pengendara tidak turun
dari motornya sekalipun.
Dari semua cerita tentang parkiran di tulisan
ini, harapan saya sederhana sebenarnya. Saya hanya ingin parkiran gratis dan
aman. Itu saja. Kalau tidak bisa gratis, paling tidak aman. Tidak hanya di Mal,
tapi di semua sudut tempat. Harapan yang sederhana, bukan?
Semoga saya tidak putus asa dengan kota ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar