Kamis, 14 April 2016

Menghargai Waktu, Menghargai Perempuan

“tdk bermaksud menggurui atau memberi saran..sebaiknya kita harus bisa mengatur waktu. Saya saja ibu dengan 3 anak dengan tanpa asisten sangat keteteran mengurus rumah dan kerjaan kantor. Tp demi professionalisme kerja..saya harus bisa mengatur waktu” 
Seorang ibu-ibu salah satu komunitas yang saya geluti tiba-tiba berkomentar di group chat whats app. Saya diam dan merenungi kalimatnya. Kursor hape saya berkedip kedip. Ingin sekali menulis emotikon tersenyum malu-malu dengan keringat di kepala, tetapi urung saya lakukan.

Lain lagi dengan ibu dua anak yang menjadi inisiator komunitas yang saya geluti. Sering kali Ia mengomel saat menghadiri kegiatan berbau komunitas dan kegiatan tersebut tidak terlaksana tepat waktu. “membuang waktu sekali” katanya. Saya yang sedang belajar untuk mengatur waktu lagi-lagi hanya bisa tersenyum malu.

Kejadian seperti itu mungkin kerap dialami mayoritas penggiat komunitas. Datang di rapat yang dijadwalkan pukul 7 malam, tetapi terlaksana
pukul 8. Molor dan ngaret istilahnya. Padahal, mungkin beberapa orang sudah meluangkan waktu dan berusaha datang tepat waktu. Mungkin beberapa punya urusan lain yang terpaksa dibatalkan demi datang di acara tepat waktu sesuai kesepakatan. Ada juga yang mungkin sudah memacu kendaraan dengan cepat dan hampir saja tertabrak demi datang tepat waktu. Kenyataannya, kegiatan berjalan satu jam kemudian. Sakit hati tidak?

Wajar teman saya yang sudah punya dua anak itu protes dan berkata demikian. Kehidupan sehari-hari sebagai perempuan pekerja merangkap ibu rumah tangga ditambah dengan kegiatan komunitas yang berjubel toh tidak membuatnya keteteran. Ia bisa melenggang dengan santai dari kegiatan komunitas ke kegiatan arisan keluarga. Dengan catatan, kegiatan komunitas yang Ia hadiri memang tidak akan molor.

Masih cerita tentang  teman saya. Ia perempuan lajang yang bekerja di salah satu perusahaan kesehatan. Perawakannya yang ceria dan sedikit unik membuatnya punya banyak kenalan dan aktif di beberapa komunitas. Meskipun memegang posisi yang lumayan di perusahaannya, ia tetap mengambil tanggungjawab penting di komunitas. Ketua inilah, koordinator itulah, semuanya ia jalani dengan senang hati. Terlihat dari raut wajahnya yang selalu ceria dengan senyum sumringah yang khas. Saat datang di rapat dan acara komunitas, ketepatan waktunya tidak usah dipertanyakan.

Perempuan-perempuan ini hanyalah segelintir dari perempuan yang saya kenal sangat menghargai waktu. Mereka sibuk tetapi tetap bertanggung jawab. Aktifitas mereka yang berjubel tidak menghalangi untuk terus bermanfaat bagi keluarga dan juga masyarakat. Padahal tidak mudah menyeimbangkan keduanya. Terkadang harus bisa memilih kegiatan prioritas atau yang benar-benar penting diantara beberapa pilihan kegiatan lainnya.

Ibu dua anak kawan saya itu, misalnya. Pernah mengomel dan mengeluarkan sabda kalau orang-orang yang suka datang terlambat adalah orang-orang zalim. Ia melanjutkan alasan-alasan dari fatwah yang Ia keluarkan. Saya mengangguk mengiakan. Sambil mengingat-ingat kejadian menunggu yang sering saya alami saat hadir di rapat-rapat komunitas. Banyak yang sering datang terlambat tanpa rasa bersalah telah membuat banyak orang menunggu. zalim! Kata-kata kawan saya itu terngiang-ngiang.


Saya sendiri pernah menghadiri kegiatan yang molornya sampai dua jam. Padahal saya meninggalkan cucian yang belum dijemur karena takut terlambat.  Sampai di tujuan, hanya perlu mengangkat satu tangan untuk menghitung dengan jari jumlah orang yang berada di lokasi, sunyi. Jam saya menunjukkan pukul 07.30. Menurut info, kegiatan akan dilaksanakan pukul 07.00. Saya merasa sangat dongkol. Andai tahu seperti ini, saya tentu memilih mengeringkan pakaian. Sungguh beban melihat matahari begitu terik setelah berhari-hari hujan dan saya gagal menjemur di hari mencuci pakaian nasional (baca: akhir pekan).

Di salah satu komunitas tempat saya aktif beberapa tahun terakhir, orang-orang yang sering datang terlambat sudah bisa ditebak. Hal ini semacam label yang melekat di baju-baju mereka. Tidak heran jika terdengar celetukan dari teman seperti berikut.
"Jam berapami ini, maumi dimulai rapat. Kenapa si Fulan belum datang?", kata salah seorang.
"Tidak tahu itu. Mungkin masih di jalan", dilanjutkan oleh teman yang lain.
"Oh, kalau Fulan itu biasanya terlambat datang, tidak usah ditunggu, kemarin saja, bla bla bla", kemudian kisah-kisahSi Fulan yang sering terlambat menjadi cerita untuk mengawali rapat.

Disadari atau tidak, kondisi seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah. Karena begitu biasa, kegiatan seperti seminar sekalipun pasti menyediakan jeda waktu puluhan menit untuk mereka yang datang terlambat. Bagi mereka yang datang tepat waktu, konsekuensinya ya harus menunggu.

Mungkin kemajuan bangsa ini bisa diawali dengan belajar datang tepat waktu dan tidak membuat orang menunggu. Rumah sakit tidak membuat pasien menunggu, kantor pemerintah tidak membuat rakyat kecil menunggu, birokrasi tidak membuat mahasiswa menunggu dan yang paling penting adalah, laki-laki tidak membuat perempuan menunggu :D

3 komentar: