Rabu, 30 Maret 2016

Dear Senior

Ilustrasi : Anak-anak diajarkan dengan pesan moral kebaikan sejak kecil
Foto oleh : Kak Emi
Hari ini saya menemui adik yang baru saja pulang dari kegiatan pengkaderan di fakultasnya. Anak laki-laki pertama di keluarga kami itu punggungnya lebam kebiruan bekas pukulan balok dari seniornya. Lututnya bengkak karena di tendang.Tulang kering kaki sebelah kirinya juga kebiruan bekas sepatu orang-orang yang mengaku berpendidikan.

Adik saya tidak menangis padahal Ia tergolong anak yang cengeng dan mudah sekali meneteskan air mata. Beberapa kali saya menatap matanya dalam dan berharap ia mengeluarkan kata kutukan terhadap senior-seniornya itu, tetapi tidak. "Biasaji itu kalau laki-laki", katanya sambil memainkan gawainya dengan santai. Saya mendengarkan dengan geram, berharap mereka yang melakukan kekerasan itu hidupnya tak tenang. Apanya yang biasa? Karena kata 'biasa' itulah kalian  dengan mudah merusak fasilitas kampus saat sedang demo. Persis anak kecil yang merengek tantrum karena tidak dipenuhi permintaannya. Karena kata 'biasa' itu pula yang membuat  kalian tidak merasa berdosa membakar ban dan mengganggu lalu lintas , membuat ibu-ibu menangis
karena terjebak macet parah sementara Ia ditunggu keluarganya sedang sekarat di rumah sakit.


Adik saya melanjutkan cerita tentang nasib teman-teman seangkatannya yang lain. Ada yang tangannya patah. Ada yang matanya lebam dilempar palu. Ada yang pingsan berkali-kali tetapi masih terus dikerjai dan tidak berhenti dipukul dengan kayu. Nasib perempuan juga tidak kalah mirisnya. Selain dipukuli, mereka juga ditampar berkali-kali dengan sandal gunung. Duhai, orang tua para pelaku kekerasan ini pastinya sangat bangga jika tahu kelakuan anak-anak mereka.

Ayolah, apa tidak ada cara berkenalan yang lebih baik dan santun dibanding meninggalkan bekas lebam-lebam di tubuh junior? Oh iya, saya lupa kalau  para senior yang melakukan kekerasan seperti ini sudah pasti malas berpikir. Buktinya, perpeloncoan yang sudah berdekade lamanya masih mereka adopsi dengan alasan 'sudah tradisi'. Aih, kolot sekali.

Mereka seenak dengkul menzolimi anak orang dengan alasan melatih mental. Para senior ini yang sebelumnya pernah mengalami hal serupa, apa sudah terlatih mentalnya? Mental apa yang terlatih? Mental berani demo dan teriak-teriak tidak jelas di tengah jalan? Atau mental berani datang ke kampus meskipun sudah lupa berapa semester yang sudah dilalui?

Kegiatan seperti ini sebenarnya sudah dilarang oleh Kementrian Riset dan Teknologi, Indonesia. Universitas yang melakukan hal serupa akan dikenakan sanksi. Tetapi ternyata para mahasiswa senior ini tidak habis akal, proses ospek mereka undur dan laksanakan jauh di daerah dengan dalih kegiatan kemasayarakatan. Padahal ada benih-benih dendam dan arogansi yang mereka bawa. Toh dulu mereka juga diperlakukan demikian oleh senior mereka. Sekarang saatnya mereka melakukan hal yang sama.

Jika ditelisik dari sejarah, beberapa sumber menyebutkan perilaku perpeloncoan atau ospek pertama kali di lakukan di universitas Cambridge untuk menekan perilaku anak-anak keluarga kerajaan yang semena-mena.

Di indonesia, disebutkan bahwa ospek sudah ada sejak zaman kolonial School Tot Opleiding Van Indische Artsen atau lebih dikenal dengan nama STOVIA, sekolah pendidikan dokter pribumi (1898-1927). Tahun 1927-1942, berlanjut di Sekolah Tinggi Kedokteran, Geneeskundinge Hooge School (GHS). Sekolah kedokteran ini sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia.

Terlepas dari sejarah dan alasan-alasan perpeloncoan serta ospek di kampus, kekerasan bukan jalan yang tepat untuk saling mengenal dan meninggalkan kesan. Karena kekerasan biasanya menimbulkan dendam yang berantai bahkan terkadang luka fisik dan psikis dialami oleh mahasiswa yang menjadi korban. Jadi silahkan bertanggung jawab, kakak Ssenior! Kalau kalian mampu menghapus luka junior kalian serta luka para orang tua yang tangisnya pecah melihat anak-anak mereka terluka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar