Sabtu, 05 Maret 2016

Menengok Pendidikan di Pulau Lae Lae

Pulau Lae Lae

Sejumlah remaja berpakaian seragam pramuka dan topi abu-abu  terlihat tertawa-tawa di atas perahu yang membawa mereka dari pulau seberang. Perahu itu menghampiri dermaga, melepas satu per satu  anak-anak SMA yang wajahnya segar dan terlihat baru saja memakai bedak. Mereka berusaha memanjat dermaga yang lebih tinggi dari orang dewasa jika diukur dari permukaan air laut.

Para remaja ini adalah penghuni pulau Lae Lae yang berada tidak jauh dari kota Makassar. Jika dilihat dari dermaga Kayu Bangkoa, tempat keberangkatan menuju pulau ini, pasir putih pulau Lae Lae masih bisa terlihat dari dermaga. Sejumlah pohon nyiur pulau ini bahkan tampak dengan jelas dari anjungan pantai losari.

Saat menunggu kapal untuk berangkat ke pulau Lae Lae, saya berbincang-bincang dengan beberapa anak SMA dan SMK. "Saya mau cari kerja dulu" kata Hamziah, gadis berparas manis yang bersekolah di salah satu SMK Makassar. Ia salah satu penghuni pulau lae-lae dan sekarang duduk di kelas tiga dan sisa menghitung bulan ia akan menghadapi ujian nasional. Sebentar lagi kehidupan sebenar-benarnya akan ia hadapi tetapi mimpi berkuliah sepertinya harus ia
tangguhkan dulu. Mencari kerja setelah lulus SMK adalah tujuan utamanya. Saat saya tanya kenapa tidak langsung kuliah saja, ia menjawab dengan senyuman manis yang cukup membuat saya mengerti.


Meskipun berjarak hanya sekitaran 10 menit perjalan menggunakan perahu, kehidupan pulau Lae-lae jauh berbeda dengan hiruk pikuk kota Makassar. Pulau  ini dihuni oleh 346 Kepala rumah tangga (data 2013) dengan pencaharian utama sebagai nelayan. Ukuran pulau yang bisa dikelilingi dalam waktu kurang lebih 20 menit, membuat Pulau Lae Lae tempat yang juga bisa dijadikan alternatif melarikan diri dari rutinitas kota Makassar. Pantai Bob yang terletak di sisi barat pulau ini juga sering menjadi destinasi wisata bagi penggemar pantai dan pasir putih.

Pulau Lae-lae mempunyai sekolah satu atap yang terdiri dari taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama. Menurut penuturan Bapak Oddang Tadda, kepala sekolah Pulau Lae Lae, dua tahun lalu didirikan SMA di pulau ini agar anak-anak SMP tidak perlu menyebrang pulau demi melanjutkan pendidikan. "Dulu ada SMA tapi tidak ada yang mau sekolah di sana" kata-kata hamziah masih saya ingat jelas.

Keputusan untuk bersekolah di kota tentunya mempunyai banyak konsekuensi. Seperti saat musim penghujan lalu. Tidak ada kapal yang berani menyebrang karena ombak yang tinggi disertai angin kencang. Anak SMA yang berasal dari Pulau Lae Lae dan mengandalkan perahu sekolah akhirnya tidak bisa ke sekolah. Peristiwa seperti itu bisa berlangsung hingga beberapa hari dan menghambat aktifitas sekolah mereka.

Bukan hanya anak sekolah yang tidak menyebrang saat cuaca buruk. Guru-guru yang mengabdi di sekolah satu atap Lae-Lae juga terkena imbas. Terdapat 27 guru yang mengajar di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di sekolah ini. Sebahagian besar mereka berasal dari kota Makassar sering tertahan di dermaga kayu bangkoa, menunggu cuaca bersahabat. Jika tidak, maka tidak ada yang ke sekolah kecuali dua orang tenaga pendidik yang memang mendiami pulau Lae Lae. 

Soal transportasi, guru pulau Lae Lae cukup beruntung. Atas kemurahan hati Coorporate Social Responsibility (CSR)  salah satu perusahaan BUMN, guru-guru yang mengabdi di sekolah pulau Lae-Lae diberikan sebuah perahu secara cuma-cuma. Pukul 7.30 biasanya mereka berkumpul di dermaga Kayu Bangkoa dan menyebrang bersama-sama. Termasuk kepala sekolah yang berdomisili di kota Makassar.

Keberadaan kapal bantuan sangat membantu mobilitas guru-guru pulau Lae Lae. Mereka tidak lagi membayar sewa kapal setiap harinya yang bisa mencapai 1000 ribu rupiah sekali jalan. Biaya tersebut bisa beragam. Kata penduduk pulau, pengemudi kapal memasang tarif 5000 rupiah untuk penduduk pulau, 2000 rupiah untuk anak sekolah dan 1000 ribu rupiah untuk wisatawan.

Menurut kepala sekolah, murid sekolah satu atap pulau Lae lae berjumlah lebih dari 300 siswa. Tidak semua mampu melanjutkan sekolah ke kota karena memilih untuk melaut dan membantu perekonomian keluarga. Ada juga yang yang bekerja di kota dan kembali ke pulau bersamaan dengan senja yang kembali  ke peraduan. Sayang sekali pihak sekolah tidak punya data murid pulau Lae Lae yang putus dan yang lanjut sekolah. 

Selain melanjutkan pendidikan di sekolah negeri, dan sekolah menengah kejuruan, berdasarkan penuturan beberapa warga, anak muda pulau Lae Lae beberapa juga bersekolah di sekolah-sekolah pelayaran yang ada di Makassar. Sekolah yang akan mengantarkan mereka kelak berpindah-pindah negara dengan mengarungi lautan dan samudra. 

Memasuki pulau Lae Lae membuat saya merasa sedang berada di tempat yang sangat jauh dari kota Makassar. Pemandangan pohon nyiur, pasir putih, serta kapal-kapal nelayan yang sedang bersandar  tersaji persis di depan mata. Tidak hanya itu, ibu-ibu dan anak gadis yang sedang mencari kutu serta anak-anak kecil yang berlarian bermain pasir menambah suasana 'pulau' tempat ini. Yang menarik adalah saat berbalik dan memandang ke arah lautan, deretan bangunan megah di sepanjang jalan penghibur kota makassar terlihat sangat jelas.

Saat menunggu kapal untuk kembali ke pangkuaan kota Makassar, di dermaga pulau lae lae, saya bertemu dua anak sekolah menengah pertama yang sedang duduk-duduk. Sial saya tidak mencatat nama mereka. Dari percakapan kami yang cukup panjang, saya tahu kalau mereka sering menyebrang ke kota Makassar sekadar untuk bermain game di warnet. Tempat yang menurut saya sudah hampir punah digerus oleh smartphone dan laptop yang semakin menjamur.

Percakapan dengan kepala sekolah masih terasa segar diingatan saya. Tentang proses pembelajaran yang sering terhambat karena listrik yang sering padam, tentang rasa bahagia atas bantuan perahu guru, serta cerita guru-guru honorer yang bisa dengan mudah menjadi PNS jika mengabdi di pulau Lae Lae. 

Disaat anak-anak sekolah di perkotaan berisik dengan gadget canggih terbaru dan gaya kekinian, anak-anak SMA dari pulau Lae Lae sedang berjuang meraih masa depan yang lebih baik untuk keluarga mereka. Setiap hari menyebrangi laut yang sama, tiba di dermaga yang sama dan masa depan yang entah akan bagaimana. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar